Nissa dan Ibang Patut Diacungi Jempol

Nissa dan Ibang Patut Diacungi Jempol
KOMPAK: Nissa dan Ibang bersama para santri bertani di Pesantren Ath Thaariq Minggu (12/2). Foto:Pesantren Ath Thaariq for Jawa Pos.

Untuk makanan sehari-hari, Pesantren Ath Thaariq punya perkedel tahu daun kunyit, oseng daun bangun-bangun, urap sambung nyawa, bala-bala antanan, pecel daun binahong, serta orak-arik telur daun kelor.

’’Sangat cukup untuk makan sehari-hari di sini,’’ ungkap ibu Salwa Khanzaa Al’Salsabil, Akhfaa Nazhat Al’Waffa, dan Qaisha Qaramitha Mulya Shadra itu.

Kebutuhan nutrisi, karbohidrat, maupun protein keluarga pesantren juga tidak pernah kurang. Semua memanfaatkan bahan pangan yang tersedia di lahan perkebunan mereka.

Setelah sukses dengan Pesantren Ath Taariq, Nissa dan Ibang berniat membuka pesantren serupa di wilayah Garut Selatan. Pesantren itu mereka namai Sekolah Politik Ekologi Tangoli.

Garut Selatan dipilih Ibang agar pesantren tersebut bisa menjadi benteng bagi petani di wilayah itu dari serbuan pembangunan yang merusak lingkungan.

Meski santri tetap Pesantren Ath Thaariq tidak boleh lebih dari 30 orang, Nissa dan Ibang membuka diri bagi siapa saja yang ingin belajar pertanian dan peternakan ala mereka. Orang luar boleh belajar singkat selama seminggu, sebulan, atau tiga bulan, sampai dianggap cukup.

Setelah belajarnya selesai, mereka juga akan dianggap sebagai alumnus Pesantren Ath Taariq. Mereka akan menjadi bagian dari keluarga pesantren yang juga dikenal dengan sebutan pesantren kebun sawah itu. Tak heran bila sejak 2008 sudah ribuan santri yang menjadi alumnus pesantren tersebut.

’’Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, tidak sedikit yang dari luar negeri,’’ tandas Ibang.

Nisya Saadah Wargadipura dan Ibang Lukman Nurdin sudah satu dekade ini memberdayakan petani di Tanah Pasundan. Uniknya, cara yang dipakai, antara

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News