Nyaman Banar

Oleh Dahlan Iskan

Nyaman Banar
Foto: disway.id

jpnn.com - Tetap saja mengharukan. Biarpun salat Idulfitri-nya di rumah sendiri. Kemarin.

Kebetulan ada halaman kecil di depan studio gamelan. Di samping rumah saya.

Halaman itu berpasir. Pasir yang sudah dicuci --agar tidak berdebu.

Baca Juga:

Di situlah kami salat hari raya. Dua anak, dua menantu, dan enam cucu menjadi jamaahnya. Rumah mereka hanya sepelemparan batu jauhnya.

Ditambah pula Kang Sahidin --sopir keluarga yang tidak bisa pulang kampung ke Sukabumi. Juga Pak Man --tukang kebun yang sudah puluhan tahun membujang --sejak istrinya meninggal.

Masih ditambah asisten rumah tangga anak saya dan staf keuangan di perusahaannyi. Total 16 orang.

Baca Juga:

Di rerimbunan pohon mangga, nangka, asam jawa, dan kaliandra itu kami menggelar tikar. Pula, diletakkan di situ satu kursi. Di sebelah sajadah imam. Itulah kursi untuk yang akan khotbah nanti --saya.

Istri saya lantas menghias kursi itu dengan kain yang dibeli di Turki. Lalu membungkus tongkat dengan bambu. Tongkat itu akan dipegang khatib saat berkhotbah nanti --seperti tradisi lama di desa saya dulu.

unia bisnis telah membuat saya tidak dikenal di dunia dakwah. Saya sudah dianggap 'binatang ekonomi'. Sudah disamakan dengan suku Tionghoa atau Yahudi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News