Ole Gunnar Solskjaer

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Ole Gunnar Solskjaer
Ole Gunnar Solskjaer. Foto: Andrew Yates/Reuters

Meski berada di nomor dua, tetapi sebenarnya kualitas dan penampilan MU masih ketinggalan kelas dari Manchester City dan arsitek Pep Guardiola.

Pepatah Inggris mengatakan ‘’second place is the first loser’’, urutan kedua adalah pecundang pertama. Itulah yang dialami Ole dan Manchester United. Ada di posisi kedua bukan berarti menjadi pemenang kedua, tetapi justru menjadi pecundang pertama.

Namun, MU masih percaya kepada Ole. Semasa 12 tahun menjadi pemain di bawah Sir Alex, Ole sering membawa keajaiban seperti bayi ajaib. Ia bukan pemain starter, tetapi sering menjadi pemain penentu kemenangan. Ole The Baby Assassin ini sekaligus menjadi Ole The Baby Luck, bayi keberuntungan.

Gol yang dibuatnya pada detik terakhir final Liga Champions melawan Bayern Muenchen membawa MU meraih treble winner pada 1999.

Kemenangan itu menjadi cerita manis dalam kenangan kolektif fan MU di seluruh dunia. Ole adalah pembawa berkah. Ole akan membawa kembali kejayaan itu. Karena itu Ole diberi kepercayaan untuk membawa MU kepada glory masa lalu.

Banyak yang mengkritik Ole karena gaya melatihnya yang adem ayem. Beda dengan Sir Alex yang berapi-api di touch line pinggir lapangan, beda dengan Mourinho yang jagoan dalam psy war, Ole tidak pernah membuat pernyataan yang tajam mengenai apa saja.

Karena itu, Ole disebut lebih pantas menjadi guru olahraga daripada menjadi pelatih MU.

Tahun ini, harapan membuncah di dada para penggemar MU. Belanja besar-besaran dilakukan MU dengan memborong tiga bintang besar.

Ole Gunnar Solskjaer disebut lebih pantas menjadi guru olahraga daripada menjadi pelatih MU. Ada Zidane, atau Conte.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News