Pajak dan Demokrasi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Pajak dan Demokrasi
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto: Ricardo

Pepatah Inggris mengatakan, ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam hidup: mati dan pajak.

Pajak dan mati sama-sama tidak bisa dihindari. Sampai ke lubang semut pun petugas pajak akan mengejar Anda. Dalam terminologi agama, kematian pasti akan datang meskipun Anda berada dalam perlindungan benteng yang kokoh.

Pepatah itu menyamakan mati dengan pajak. Artinya, tanpa pajak kita bisa mati, dan kalau mencuri uang pajak atau menggelapkan pajak hukumannya bisa hukum mati.

Petugas pajak memburu wajib pajak seperti malaikat maut. Setiap tahun kita dikejar-kejar oleh petugas pajak untuk segera menyelesaikan SPT (surat pemberitahuan) pajak.

Uang pajak adalah barang sakral. ‘’The taxpayer’s money’’ harus dimanfaatkan untuk kepentingan pembayar pajak. Korupsi terhadap uang pembayar pajak adalah kejahatan paling berat dalam demokrasi.

Di Indonesia tidak ada istilah uang pembayar pajak. Kalau seseorang melakukan korupsi, ia disebut mencuri uang negara, bukan uang pembayar pajak. Padahal, uang negara itu berasal dari pembayar pajak. Karena itu para koruptor merasa santai saja karena dia tidak merasa mencuri uang pembayar pajak yang dibayarkan oleh para pedagang kaki lima.

Pajak berhubungan langsung dengan demokrasi. Tidak ada pajak tanpa demokrasi.

Jargon demokrasi menyebutkan "no tax without representation" tidak ada pajak tanpa keterwakilan demokrasi di dewan. Karena itu, pajak sangat esensial bagi demokrasi. Menggarong pajak sama dengan meruntuhkan pondasi demokrasi.

Pepatah Inggris mengatakan, ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam hidup: mati dan pajak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News