Pajak dan Demokrasi
Oleh: Dhimam Abror Djuraid
jpnn.com - Sebelum lahir Magna Carta pada abad ke-13, di Inggris masyarakat pernah menolak membayar pungutan pajak atau upeti kepada raja. Tidak ada pajak tanpa keterwakilan rakyat di parlemen atau wakil rakyat.
Itulah awal mula lahirnya konsep demokrasi berdasarkan ketewakilan di parlemen.
Sejak adanya Magna Carta muncullah slogan “No taxation without representation”, tidak ada pajak tanpa ada perwakilan di parlemen.
Pajak dipungut harus berdasarkan undang-undang yang disahkan parlemen, tidak ada pungutan pajak oleh pemerintah kecuali didasari undang-undang yang disahkan dewan perwakilan rakyat.
Kemudian pada abad ke-18, frasa “No taxation without representation” digunakan di Amerika Serikat semasa revolusi. Rakyat yang makin berani menentang kekuasaan Inggris bahkan memopulerkan semboyan baru, “Taxation without Representation is Robbery”, pemungutan pajak tanpa persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam bentuk undang-undang adalah perampokan.
Seorang penjahat yang menodongkan senjata dan meminta sejumlah uang sama saja dengan petugas pajak yang memaksa wajib pajak untuk membayar.
Namun, penodongan oleh petugas pajak itu sah secara hukum karena didasarkan pada undang-undang.
Perbedaan antara perampokan dan pemungutan pajak yang sah adalah ada dasar undang-undang dan tidak ada dasar undang-undang. Pemungutan pajak sebelum adanya undang-undang merupakan upeti yang haram hukumnya bagi petugas pemungut pajak dan yang memanfaatkan uang pungutan itu.
Pepatah Inggris mengatakan, ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam hidup: mati dan pajak.
- Menkeu: APBN Defisit Rp 401 Triliun
- Menkeu Sri Mulyani Buka-bukaan soal Nasib Ekonomi Indonesia pada 2025
- Janji Menkeu Sri Mulyani Soal PPN 12 Persen, Simak!
- Pemerintah Wajib Memperjelas Definisi Barang Mewah dalam PPN 12 Persen
- Restitusi Berduit
- Prabowo Buka Suara Soal PPN 12 Persen Bakal Diterapkan 1 Januari 2025