Pajak Warteg

Pajak Warteg
Pajak Warteg

jpnn.com - ANDA pernah menghitung berapa omzet warteg alias warung tegal? Coba tebak, berapa duit transaksi mereka setiap hari? Boleh percaya boleh tidak, lebih dari Rp 550.000 per hari. Penjual sego kucing, kaki lima di samping kantor INDOPOS Kebayoran Lama, Jaksel saja, rata-rata di atas itu. Fluktuasi antara Rp 500.000 sampai Rp 600.000,- per malam.

Hanya malam Minggu dan Minggu malam yang paceklik. Menu favouritnya sego kucing, yakni secentong nasi putih dengan secuil ikan pindang plus sambal merah, dibungkus daun dan kertas.

Atau nasi langgi, sekepal nasi dengan potongan tempe bacem goreng, dan cabe merah besar yang tidak terlalu pedas. Di angkringan bertenda orange atau biru, yang remang-remang itu ada banyak pilihan tambahan lauk pauk. Dari tempe gorong, mendoan, tahu isi, tempe-tahu bacem, rondo royal (nama lain tape goreng, red), sate jeroan, cakar ayam, kikil sapi, kepala dan leher ayam, sampai kerupuk dan intip kriyuk.

Minumannya spesialis panas dan hangat. Dari kopi, teh, susu, jahe, dan campurannya, seperti kopi susu, teh jahe, kopi jahe, susu jahe, kopi susu jahe. Biasanya menyediakan es, tetapi stoknya tidak banyak. Kalau ada yang pesan es, sering diledek ,“Radiator sedang bocor ya mas?” Orang Solo, Jogja dan Semarang acap menyebut warung kaki lima model itu sebagai HIK.

Saya tidak tahu persis, HIK itu singkatan apa? Atau punya makna apa? Di setiap perempatan di tiga kota besar di Jateng-DIY itu, dengan mudah ditemui UMKM seperti ini. Jenis minuman dan makanannya lebih variatif . Ada wedang uwuh (uwuh itu artinya sampah, red), ada istilah teh nasgintel yang maksudnya panas legi kentel, panas manis dan kental.

Ada istilah owol, pisang bakar dilumuri susu putih kental manis. Tempat duduknya, kayu panjang mengitari gerobak itu, dengan lampu teplok minyak tanah dan arang bakar yang hangat. Mulai Januari 2012 ini, usaha wong cilik jenis ini pun bisa kena pajak 10 persen. Kalau omzet HIK saja segitu, maka bisa dibayangkan, warteg yang lebih permanen, lebih panjang masa edarnya, lebih besar, lebih banyak pelanggannya, pasti lebih dari Rp 550.000 per hari.

:TERKAIT Dan mereka harus bersiap-siap terima tagihan pajak. Bagaimana teknis penarikan pajaknya? Apakah pemilik atau pengusaha warteg itu datang ke kantor pajak? Melapor dan membayar Pph melalui SPT Tahunan tiap bulan Maret? Atau dibayar Ppn setiap bulan ke kantor pajak? Atau petugas dari kantor pajak menagih ke warteg? Mengecek buku besar dan menghitung setiap transaksi hariannya? Pertama, jika menunggu kesadaran dan kebijakan pemilik warteg untuk datang sendiri ke kantor pajak, ini pasti seperti menunggu pesawat di Lebak Bulus.

Ya, nggak nyambung! Apalagi yang belum pernah berurusan dengan kantor pajak. Pemilik warteg pilih ngumpet, atau memberi pengakuan tidak jujur akan omzet hariannya. Masak, peraturan kok hanya mendidik warganya menjadi “warga penipu”? Jika ini yang terjadi, maka filosofi perda itu tidak masuk hitungan. Kedua, jika petugas yang datang, potensi bocornya juga tinggi. Justru akan menciptakan peluang pungli baru. Pemilik warteg bisa menjadi sapi perahan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

ANDA pernah menghitung berapa omzet warteg alias warung tegal? Coba tebak, berapa duit transaksi mereka setiap hari? Boleh percaya boleh tidak, lebih

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News