Pakar Mengapresiasi Pandangan Hakim Soal Kerugian Negara di Kasus Asabri

Pakar Mengapresiasi Pandangan Hakim Soal Kerugian Negara di Kasus Asabri
Sidang kasus korupsi ASABRI. Foto: dok Kejaksaan Agung

Dia menyatakan independensi hakim dijamin oleh konstitusi.

“Kalau menilai ada kekeliruan dalam metode penghitungan dan menyuarakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah, meskipun perkara korupsi. Sikap dan pandangan independensi hakim atau kemerdekaan dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman (merupakan) amanat Pasal 24 UUD RI 1945,” jelas dia.

Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Putusan MK itu menafsirkan bahwa frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss), bukan perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).

Oleh karena itu, Mudzakkir menyatakan hakim harus mengikuti putusan MK itu.

“Jika hakim tidak mengikuti isi diktum putusan MK, berarti mengabaikan isi diktum putusan MK, yang berarti hakim yang bersangkutan menggunakan kekuasaan kehakiman yang tidak sesuai dengan amanat Pasal 24 UUD RI 1945,” pungkas Mudzakkir.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menilai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam menghitung kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun akibat kasus dugaan korupsi PT Asabri tidak tepat, tidak terbukti, dan mendasar.

Hakim memandang BPK dan ahli tidak konsisten ketika melakukan perhitungan kerugian negara.

Pakar Hukum Pidana menyampaikan pendapatnya mengenai dissenting opinion Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terkait kasus PT Asabri. Hakim dinilai sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News