Pakar Sebut Penetapan Tersangka Tom Lembong Prematur, Tidak Sah, dan Lecehkan Hukum

“Menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka, sementara belum ada alat buktinya. Bahkan melakukan penahanan, padahal penahanan menurut pasal 21 KUHP harus cukup (bukti)” beber dia.
“Jadi, sekali lagi tergambar kalau memang eksposnya baru-baru kemarin ini tentang ada kerugian keuangan negara, penetapan tersangkanya prematur adalah seperti itu,” jelas Chairul.
Dia juga menyatakan sikap Kejagung yang menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula periode 2015-2016 dinilai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal ini mengacu pada sejumlah ketentuan yang menyatakan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan bukti.
“Nah, ini tentu melanggar HAM. Undang-undang menentukan, KUHP menentukan, putusan MK 21 2014 menentukan cari dulu buktinya baru tetapkan tersangka. Ini, ya, tetapkan tersangka dulu baru cari bukti, sewenang-wenang,” jelas dia.
Chairul juga tidak menafikan bahwa langkah penyidikan secara tidak langsung sudah melecehkan hukum di Indonesia. Sebab, dugaan bila penahanan Tom Lembong bukan untuk tujuan hukum itu sendiri, melainkan tendensi politik.
“Menurut saya, inilah kalau penyidikan, penetapan tersangka, dan penahanan tidak dilakukan untuk tujuan yang tentukan oleh hukum. Namun, untuk tujuan-tujuan lain di luar hukum, termasuk tujuan politik,” ujar Chairul Huda.(mcr8/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Pakar hukum, Chairul Huda menilai penetapan Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016 sangat prematur.
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Kenny Kurnia Putra
- Komisi Kejaksaan Tegaskan Produk Jurnalistik Tidak Bisa Dijadikan Delik Hukum
- Prabowo Percaya Hakim Bergaji Besar Tidak Bisa Disogok
- KPK Periksa Mantan Direktur LPEI Terkait Kasus Korupsi Fasilitas Kredit
- Dukung RUU Perampasan Aset, Prabowo Sentil Koruptor: Enak Saja Sudah Nyolong...
- Demokrat Laporkan Ketua Pengadilan Tinggi Sulut ke MA dan Kejagung, Ada Apa?
- Yunus Wonda Diminta Bertanggung Jawab di Kasus PON XX Papua