Pancasila Sakti

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Pancasila Sakti
Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Jakarta Timur. Monumen tersebut merupakan penanda tentang peristiwa G30S/PKI. Foto: Ricardo/JPNN.com

Para dalang yang berusaha menunjukkan bentuk fisik jimat itu biasanya memvisualisasikannya sebagai sebuah lembaran kertas mirip amplop tertutup.

Dalam sebuah pakem versi pewayangan lain Jimat Kalimasada diinterpretasikan sebagai ‘’Jimat Kalimat Syahadat’’. 

Lidah Jawa akan kesulitan melafalkan ‘’Kalimat Syahadat’’ dan karena itu kemudian berubah pronunsiasinya menjadi ‘’Kalimasada’’ untuk memudahkan pengucapan lidah Jawa.

Interpretasi ini muncul karena tradisi wayang--yang merupakan impor dari India, nukilan epik Bharatayuda dan Ramayana--menjadi bagian yang sangat inheren dari ajaran Hindu yang mendapatkan banyak pengikut di Jawa. 

Ketika Sunan Kalijaga mendakwahkan Islam di Jawa pada abad ke-16 dia memakai wayang dan suluk sebagai sarana dakwah. 

Mistisisme Jawa akibat pengaruh Hindu sudah sangat mengakar, dan untuk mengubah tradisi itu tidak bisa dipakai cara-cara yang frontal dan antagonistis. 

Maka Sunan Kalijaga kemudian memakai strategi budaya melalui pergelaran wayang sebagai sarana dakwah Islam. 

Dari situlah munculnya kisah kehebatan Kalimat Syahadat sebagai senjata pusaka yang tidak terkalahkan. 

Sebagai ideologi yang terbuka dan inklusif, Pancasila tidak bisa didaku oleh satu kelompok saja dan kemudian melakukan eksklusi terhadap kelompok lain.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News