Paradoks Sepakbola & Politik

Paradoks Sepakbola & Politik
Paradoks Sepakbola & Politik
Kepekaan akting Rendra – dulu dalam lakon-lakonnya – semakin terpelihara. Kesadaran seni di atas panggung mengalir dan tak terusik, misalnya karena tidak ada penonton yang malah mencuci maki permainan Bengkel Teater. Melainkan dukungan totalitas, sehingga jadilah pentas itu menjadi upacara bersama antara Bengkel Teater dengan audience.

Lakon SBY boleh dikata tidaklah buruk. Pidatonya sangat sistematis. Rangkaian kalimat dibangun dengan logika, dan juga angka-angka argumentative. Tidak betele-tele, tak terlalu panjang, dan pesannya selalu jelas. Dia pembicara yang baik. Bukan gombal. Tetapi juga nalar.

Namun, nahas. Apa saja sikap dan wacana pemerintah yang direpresentasikan oleh Presiden SBY, Wapres Boediono, atau para menteri, termasuk oleh anggota DPR, selalu ditanggapi minor. Seakan-akan ada frame, bahwa pemerintah, atau SBY mestilah “salah.” Bukan The King can do not wrong, tetapi sebaliknya.

Mulai dari kasus Century, Munir, tragedy Trisakti dan Semanggi, lambannya pergantian Kapolri dan Jaksa Agung, masalah keistimewaan DIY, soal cicak versus buaya, bencana alam, lambannya penanganan kasus korupsi dan berbagai kasus yang mendera bangsa ini, dilamatkan sebagai “kelemahan atau kesalahan” SBY.

SIAPA sih yang hebat? Irfan Bachdim, striker timnas PSSI di Piala AFF itukah, Conzales, Firman, Bambang Pamungkas, dan pemain bintang lainnya atau

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News