Pasar Apung

Oleh: Dahlan Iskan

Pasar Apung
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya tidak bahagia di perjalanan sungai Martapura ini. Naik perahu sudah biasa. Menyusuri sungai bukan barang baru.

Baca Juga:

Saya justru seperti melihat masa nan silam: 40 tahun yang lalu. Kanan-kiri sungai Martapura seperti sengaja mengabadikan masa silam. Di sungai ini dekade seperti berhenti menjemput dekade-dekade di depannya.

Fajar berganti pagi. Waktunya mandi pagi. Maka di sepanjang pinggir sungai Martapura ini banyak orang lagi mandi pagi: di dermaga apung di depan rumah masing-masing. Di sebelah bangunan toilet yang juga terapung. Atau toilet bertiang di atas air sungai.

Yang laki-laki mandi dengan cara tetap mengenakan celana kolor. Saya tahu cara mandi seperti itu. Saya pernah mengalaminya berbulan-bulan. Di dermaga apung sungai Mahakam. Di bagian kampung Karang Asam, pinggiran kota Samarinda.

Saya tinggal di rumah kakak sulung. Di belakang sekolah. Tiap pagi harus menyusuri jembatan kayu, menyeberangi jalan raya, menuruni dermaga: ada toilet terapung di situ. Juga ada rangkaian kayu terapung yang bisa untuk mandi.

Menyabun badan bagian atas tidak ada masalah. Tetapi menyabun bagian bawah harus memasukkan sabun ke dalam celana kolor.

Jangan menghadap ke jalan raya. Jangan pula menghadap ke hulu atau ke hilir. Di jalan banyak orang lewat. Di hulu dan hilir juga banyak orang mandi serupa. Yang paling aman: menghadap ke tengah sungai.

Memang ada perahu yang lalu-lalang di sana tetapi agak jauh di tengah. Etika perahu: tidak boleh lewat dekat tempat mandi dan toilet seperti itu. Gelombang yang diakibatkan oleh perahu akan mengguncang pijakan tempat mandi mereka.

SAYA dipaksa istri lihat pasar terapung di Banjarmasin. Saya pura-pura takut: berangkat. Sebenarnya cerita di TV dan medsos sudah cukup lengkap...

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News