PBHI dan Imparsial Mendorong Pentingya Reformasi Peradilan Militer

PBHI dan Imparsial Mendorong Pentingya Reformasi Peradilan Militer
PBHI dan Imparsial menggelar diskusi bertajuk 'Advokat Militer: Dua Diksi Lucu untuk Perluasan Impunitas di Sadjoe Café and Resto, Jakarta Selatan, Kamis (31/8). Foto: dokumentasi PBHI

Pernyataan itu dinilai berbahaya karena yang memiliki kapasitas sebagai kuasa hukum dalam kasus tindak pidana umum telah diatur secara jelas hanya dimiliki oleh advokat tersumpah.

Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah diatur mereka yang berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara seperti Anggota TNI dan Polri dilarang untuk menjadi advokat

Dengan demikian, apabila anggota TNI dinyatakan dapat menjadi penasihat hukum, hal ini dinilai merupakan penghinaan terhadap profesi advokat.

"Sebetulnya UU Advokat sudah mengunci bahwa siapa pun boleh menjadi advokat asal syarat-syaratnya terpenuhi yakni asal bukan pegawai negeri sipil atau pejabat," kata Bahrain.

Selain itu, Bahrain menilai anggota TNI tidak tepat ketika menjadi advokat karena TNI adalah pegawai negeri sipil.

"Dasar hukum yang disebutkan Kababinkum yaitu melalui SEMA, sudah tidak tepat karena sudah ada dasar hukum baru yaitu UU Advokat," tuturnya.

Menurut Bahrain, kekacauan terkait militer aktif yang menjadi advokat ini terjadi akibat belum dibenahinya reformasi peradilan militer melalui revisi UU 31 tahun 1997.

"Dalam konteks reformasi peradilan militer, pemerintah selama ini seperti jalan di tempat atau bahkan mundur," ujar Bahrain.

PBHI dan Imparsial mendorong pentingnya reformasi peradilan militer melalui revisi UU Peradilan Militer sebagai amanat reformasi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News