Pelaksanaan Ibadah Agama Jangan Jadi Objek Perjanjian

Pelaksanaan Ibadah Agama Jangan Jadi Objek Perjanjian
Koordinator TPDI Petrus Selestinus. Foto: Friederich Batari/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pemberitaan tentang pelarangan penyelenggaraan Ibadah Natal dan perayaan Natal umat Kristiani oleh Masyarakat dan Aparatur Pemda Kabupaten Sijunjung dan Jorongan Kampung Baru dan Kabupaten Darmarsraya, Provinsi Sumatera Barat mendapat respons banyak kalangan.

Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila, Petrus Selestinus menyayangkan adanya larangan merayakan Natal bagi umat Kristiania. Petrus juga menyayangkan pelarangan tersebut dengan alasan adanya Kkesepakatan antarumat warga setempat.

“Hal itu membuktikan bahwa belum semua aparatur negara dan warga masyarakat menerima dan mengakui konstitusionalitas jaminan kebebasan melaksanakan Ibadah Agama,” kata Petrus, Senin (23/12).

Petrus menegaskan Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) sangat menyesalkan tindakan pelarangan tersebut. Oleh karena itu, FAPP mendesak pemerintah untuk menghentikan pelarangan Ibadah Natal umat Kristiani di beberapa tempat di Sumatera Barat, bukan saja karena pelarangan ini bersifat diskriminatif tetapi pelarangan ini sudah mengarah kepada tindakan persekusi atas dasar SARA (suku, agama, ras dan antargologan) oleh sekelompok masyarakat dan aparat pemerintah daerah terhadap sekelompok warga umat Kristiani (minoritas), yang hendak melaksanakan Ibadah suci Natal 25 Desember 2019.

Meenurut Petrus, peristiwa pelarangan ini jelas mengusik kenyamanan Umat Kristiani dimana pun di Indonesia yang hendak merayakan Natal 25 Desember 2019. Terlebih-lebih karena peristiwa ini terjadi menjelang Umat Kristiani melaksakan Ibadah Natal 2019.

“Pemerintah seharusnya tidak membiarkan warganya melakukan kesepakatan bersama dengan objeknya adalah soal pelaksanaan ibadah agama, bagi warganya,” katanya.

Bagi Umat Kristiani, menurut Petrus, momentum Natal 25 Desember tidak semata-mata sebagai peristiwa spiritual, melainkan juga momentum untuk membangun dan memperkuat relasi sosial antarsesama warga tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Selain itu, mempertebal toleransi terhadap sesama umat beragama dalam hidup berdampingam.secara damai.

Kebebasan beragama dan pelaksanaan ibadah agama tidak boleh dijadikan "objek perjanjian" baik antar umat berbeda agama, antar umat seagama, maupun antarumat beragama dengan pemerintah. Karena mengenai kebebasan beragama dan pelaksanaan ibadah agama, meskipun merupakan persoalan yang sangat privat, namun hanya negara yang memiliki kewewenangan konstitusional yang secara ekslusif untuk mengaturnya.  

Pelarangan ini sudah mengarah kepada tindakan persekusi atas dasar SARA oleh sekelompok masyarakat dan aparat pemerintah daerah terhadap sekelompok warga umat Kristiani (minoritas), yang hendak melaksanakan Ibadah suci Natal 25 Desember 2019.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News