Peliknya Menangani Musibah Nuklir karena Gempa, Belajar dari Jepang

Melebihi Ketakutan yang Disebabkan Bencana Nuklir Chernobyl

Peliknya Menangani Musibah Nuklir karena Gempa, Belajar dari Jepang
Seorang petugas pemantau sedang menguji makanan dari kemungkinan tercemar radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima. Foto : Rohman Budijanto/Jawa Pos
 

Sebagai bandingan, New York 0,094 mikroSv/h, Taipei 0,065 mikroSv/h, dan Seoul 0,108 mikroSv/h. Dengan data itu, pemerintah meyakinkan dunia bahwa di luar radius zona bahaya, tingkat radiasi baik-baik saja, sama dengan kota-kota lain di dunia. 

 

Meski sudah berusaha meyakinkan dunia, keraguan sulit hilang meski bencana sudah setahun berlalu. Hingga Kamis (11/4), barang ekspor Jepang masih mengalami berbagai pembatasan. Sachiko Takeda dari Deplu Jepang memerinci negara yang masih menangguhkan masuknya makanan dari Jepang atau diharuskan bersertifikat khusus. Yaitu, Korea, Tiongkok, Brunei, Kaledonia Baru, Kuwait, Arab Saudi, Lebanon, dan Mauritius. Sedangkan Indonesia bersama 18 negara lain mewajibkan ada sertifikat asal usul barang dan sertifikat bebas radiasi. Banyak negara lain juga membatasi masuknya barang Jepang lewat syarat yang lebih ketat.   

 

Jepang yang negara sangat maju ternyata tidak siap menghadapi bencana reaktor nuklir. Gempa disusul tsunami telah mengubah pola pikir tentang energi nuklir. Indonesia yang punya wilayah labil gempa seperti Jepang, rupanya, akan sulit mewujudkan PLTN. Apalagi, proyek itu rawan terjadi korupsi.

Di Indonesia pernah terjadi korupsi terkait nuklir, yakni pada anggaran Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) senilai Rp 8 miliar. Rawan korupsi ditambah rawan gempa, sebuah kombinasi mematikan bagi keamanan nuklir. (*/c4/ari)

Gempa di Aceh mengingatkan betapa wilayah Indonesia labil. Persis dengan Jepang. "Untunglah" Indonesia tidak punya reaktor nuklir. Wartawan


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News