Pemerintah Diminta Fokus Mengatasi Masalah Karhutla

Pemerintah Diminta Fokus Mengatasi Masalah Karhutla
Pimpinan dan anggota Komite II DPD saat RDPU dengan tiga narasumber yakni Prof Dr Hariadi Kartodiharjo, Dr Drajat H. Wibowo dan Rukka Sombolinggi di Kantor DPD, Jakarta, Senin (21/10). Foto: Humas DPD RI

Menurut Hariadi, jika mau jujur menyelamatkan hutan menjadi kawasan konservasi juga memberi keuntungan jangka panjang yang tidak terhitung besarannya. “Kita tidak pernah menghitung, berapa besar manfaat udara bersih, kekayaan keragaman hayati, terhindar dari ancaman banjir dan longsor dan juga perubahan iklim. Konsep ini belum dipahami, sehingga yang dihitung dari manfaat hutan hanya secara ekonomi yang nilainya hanya untuk jangka pendek,” sindir Hariadi.

Sementara itu, Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyayangkan sikap pemerintah yang hanya menempatkan hutan sebagai emas hijau yang selalu dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi. Selama mendampingi masyarakat adat, pegiatan AMAN di sejumlah daerah, menurut Rukka, cenderung mengalami kesulitan saat mendampingi masyarakat mengakses hutan adat sebagai sumber kehidupan mereka.

“Masyarakat selalu kesulitan mendapatkan pengakuan atas hak-hak mereka atas hutan adat, termasuk pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, yang menjadi sumber kehidupan mereka,” ujar Rukka seraya mengutip Pasal 67 UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

“Meski sudah ada di Undang-undang, malah 75 Perda di sejumlah daerah yang mempersulit masyarakat adat untuk mengakses hutan adat sebagai sumber kehidupan mereka.”

Menanggapi materi para narasumber, anggota Komite II Yustina memaparkan, selama ini masyarakat adat di wilayahnya sudah lelah menunggu peraturan daerah (Perda) yang melindungi hak-hak masyarakat adat di sektor kehutanan. “Sudah berkali-kali masyarakat adat menanyakan Perda yang melindungi hutan adat, tapi sampai sekarang belum jadi-jadi,” keluh senator dari Kalimantan Tengah ini.

Beberapa senator seperti Fahira Idris dari DKI Jakarta, Aji Mirni dari Kalimantan Timur dan Stefanus juga berharap, sudah saatnya pemerintah memikirkan dampak jangka panjang jika kerusakan hutan terus dibiarkan. Begitupun dengan hak masyarakat adat terhadap hutan di wilayahnya.

“Jangan sampai terjadi, ada ayam mati di lumbung padi,” kata Fahira mengibaratkan masyarakat di pinggir hutan tetap miskin. Sementara hasil hutan dieksploitasi untuk kepentingan perkebunan, industri kehutanan, hingga pertambangan dengan keuntungan luar biasa.

Para narasumber juga menyebutkan, hal mendasar yang menyangkut masalah kehutanan adalah dengan melakukan revisi terhadap definisi hutan hari ini. Sebab, pengertian hutan saat UU Nomor 41 Tahun 1999 akan berbeda dengan definisi hutan setelah aturan itu diberlakukan 20 tahun kemudian. “Perlu pendefinisian ulang terhadap pengertian hutan setelah Undang-undang Kehutanan berusia 20 tahun,” saran Hariadi.

Untuk mengatasi masalah kehutanan dari tahun ke tahun yang terus meningkat, pemerintah didesak untuk serius dan fokus agar bisa menyelesaikan masalah secara menyeluruh.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News