Pemerintah Dinilai Perlu Revisi Target Indikasi RPJMN untuk Prevalensi Merokok

Pemerintah Dinilai Perlu Revisi Target Indikasi RPJMN untuk Prevalensi Merokok
Barang bukti yang berhasil disita petugas Bea Cukai dalam mengungkap modus baru peredaran rokok ilegal. Foto: Bea Cukai.

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti FEB Unpad Wawan Hermawan menilai kenaikan harga cukai rokok di Indonesia selama ini sudah berhasil menurunkan prevalensi merokok.

Oleh karena itu, peningkatan rokok yang terlalu tinggi dikhawatirkan bisa menyebabkan perubahan konsumsi pada jenis rokok yang lebih murah (subtitusi/rokok ilegal).

Sehingga bisa meningkatkan prevalensi merokok akibat mengkonsumsi rokok yang lebih murah.

"Prevalensi merokok umur 10 tahun ke atas dan 15 tahun ke atas turun dari tahun 2019 dan tahun 2020," ujar Wawan dalam webinar Reformulasi Kebijakan Cukai Rokok dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau, Minggu (7/11).

Menurut Wawan, peluang merokok untuk kelompok umur 10-18 tahun dan 10 tahun ke atas menurun dari 2019 dan 2020 dilihat dari 2017.

"Kami memandang pemerintah perlu revisi target indikasi RPJMN untuk target prevalensi merokok umur 10-18 tahun," katanya.

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengkhawatirkan kondisi produksi rokok bercukai atau legal semakin tergerus.

Hal ini disebabkan karena kenaikan cukai yang terlalu eksesif dari tahun ke tahun. Selain itu peningkatan tren konsumsi rokok ilegal karena harga rokok bercukai semakin mahal.

Peningkatan rokok yang terlalu tinggi dikhawatirkan bisa menyebabkan perubahan konsumsi pada jenis rokok yang lebih murah (subtitusi/rokok ilegal).

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News