Pemerintah Dinilai Perlu Revisi Target Indikasi RPJMN untuk Prevalensi Merokok

Pemerintah Dinilai Perlu Revisi Target Indikasi RPJMN untuk Prevalensi Merokok
Barang bukti yang berhasil disita petugas Bea Cukai dalam mengungkap modus baru peredaran rokok ilegal. Foto: Bea Cukai.

Dia mencatat, produksi rokok turun 3,56 miliar batang setiap tahun sejak 2013 sampai dengan 2021.

"Ini berdampak pada industri, petani dan pendapatan negara. Kenaikan cukai itu pada akhirnya rokok ilegal mengambil alih," ujarnya.

Henry menyatakan 2020 produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) turun sebanyak 47,6 miliar batang (turun 17 persen) dengan penyerapan turun 47.600 ton tembakau 2020, pada pabrik SKM.

Kemudian, untuk produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) 2021 perkiraan Gappri mencapai 297,53 miliar batang di mana turun 10 persen dari tahun ke tahun.

Menurutnya hal ini karena kenaikan cukai IHT yang eksesif pada 2020, di mana tarif naik 23 persen dan HJE naik 35 persen. Adapun daya beli masyarakat semakin menurun.

Oleh karena itu, GAPPRI meminta tarif industri hasil tembakau (IHT) pada 2022 tidak naik, mengingat kondisi IHT saat ini sangat terhimpit dan kritis.

Sehingga perlu relaksasi minimum 3 tahun bagi dunia usaha IHT untuk pemulihan.

"Diperlukan roadmap IHT yang berkeadilan dan komprehensif bagi para pemangku kepentingan sebagai peta jalan yang legal dan pasti," seru Henry.(chi/jpnn)

Peningkatan rokok yang terlalu tinggi dikhawatirkan bisa menyebabkan perubahan konsumsi pada jenis rokok yang lebih murah (subtitusi/rokok ilegal).


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News