Penerapan Perjanjian Kerja Dipengaruhi Konstelasi Politik

Penerapan Perjanjian Kerja Dipengaruhi Konstelasi Politik
Dr Anwar Budiman saat mempertahankan disertasinya dalam sidang senat terbuka promosi doktor ilmu hukum di Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Jakarta, Rabu (2/5/2018). Foto: Ist for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dan pekerja rawan konflik, khususnya jika terjadi masalah pemutusan hubungan kerja (PHK), juga masalah upah, waktu kerja dan kepentingan lainnya. Penerapan perjanjian kerja dipengaruhi konstelasi politik.

Demikian disampaikan Dr Anwar Budiman saat mempertahankan disertasinya dengan judul “Penerapan Asas Keseimbangan dalam Perlindungan Hukum terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kerja: Mekanisme Perjanjian Kerja pada Perusahaan Sektor Otomotif di Indonesia” dalam sidang senat terbuka promosi doktor ilmu hukum di Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Jakarta, Rabu (2/5/2018).

Sidang dipimpin Ketua Tim Penguji Prof Dr Iman Santoso dengan Promotor Prof Dr Abdullah Sulaiman, dan penyanggah antara lain Dr Firman Wijaya yang juga dikenal sebagai advokat. Hadir pula sejumlah pengurus relawan “Gerakan Cinta Jokowi”, di antaranya DR Abraham C Hutapea dan Sugeng Suharno. Anwar dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude (sangat memuaskan).

Tampak terlihat di luar sidang, karangan bunga ucapan selamat untuk Anwar Budiman berderet, di antaranya dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Ketua Badan Anggaran DPR RI Aziz Syamsuddin, Ketua Setara Institute Hendardi.

Pengaturan perjanjian kerja, kata Anwar Budiman, terdapat dalam Pasal 56-66 Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Namun, ketentuan tersebut masih kurang sempurna mengingat format perjanjian kerja itu tidak diatur dengan jelas. Padahal ketentuan ini sangat penting untuk melindungi hak pekerja. Ketentuan dalam perjanjian menjadi tidak patut atau tidak adil bila terbentuk pada suatu hubungan yang tak seimbang,” jelas pria low profile kelahiran Jakarta 1970 ini.

Menurut Anwar, keseimbangan para pihak dalam perjanjian dengan kedudukan yang sederajat hampir tidak pernah tercipta. Contohnya perjanjian kredit antara pihak bank dan debitur, perjanjian antara pihak rumah sakit dan pasien, dan perjanjian antara pengusaha dan pekerja.
Pembuatan perjanjian di Indonesia melalui kesepakatan para pihak sebagaimana diatur Pasal 1320 KUHPerdata ialah untuk semua jenis perjanjian, namun untuk perjanjian kerja berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, tidak berarti telah menerapkan asas kebebasan berkontrak yang berlaku secara universal di seluruh dunia. 

“Kesepakatan para pihak dalam perjanjian di Indonesia secara faktual lebih kepada menyetujui atau tidak menyetujui, seperti perjanjian antara majikan dan buruh,” jelasnya.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia cukup kompleks. Politik hukum tentang perjanjian kerja setelah kemerdekaan belum menemukan bentuk yang jelas dan tegas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News