Pengakuan dari Tangis dalam Pelukan

Oleh Dahlan Iskan

Pengakuan dari Tangis dalam Pelukan
Pengakuan dari Tangis dalam Pelukan

Memang ada kesaksian dia menunjukkan kegembiraan saat tragedi 11 September di New York. Tapi, itu lebih karena sakit hatinya atas serangan AS ke Afghanistan. 

Ini sampai membuat pengkhotbah di masjid terbesar Memphis Jumat lalu, seperti yang saya dengar sendiri, menegaskan: ”Kita, umat Islam Amerika, harus menerima dan bersikap inilah Amerika, negeri kita. Kita lahir di sini, akan mati di sini, anak-cucu kita akan berkembang di sini. Jangan terus berpikir negeri leluhur kita.”

Memang tidak semua orang seperti Trump. Pemilik rumah tempat saya tinggal juga punya komentar spontan. Lebih spontan dari Trump. Tapi berbeda pandangan. ”Mungkin orang ini juga punya kecenderungan gay,” katanya saat melihat breaking news di televisi. Dua jam sebelum Trump berkomentar. 

Dia pun menjelaskan aspek kejiwaan mengapa dia punya respons spontan seperti itu. Besoknya ternyata muncul kesaksian baru: istri Mateen membenarkan kecenderungan gay itu. Lalu ada kesaksian lain: Mateen setidaknya 12 kali jadi pengunjung nite club kalangan gay itu. Pernah sampai sangat mabuk.

Pulse Nite Club memang sangat populer. Dan besar. Bangunannya bekas gedung surat kabar besar di Orlando. Pendirinya sudah meninggal karena Aids. Nama Pulse (detak/nadi) diambil terinspirasi dari hilangnya detak jantung si almarhum pendiri. 

Muncul lagi fakta dari jurusan lain: seorang anak muda, kulit putih, dari negara bagian di mana saya tinggal, (negara bagian yang paling antigay) membawa senjata otomatis, memarkir mobil di dekat acara parade kebanggaan kaum gay di Los Angeles, mengaku akan mengacaukan acara itu. Indiana, negara bagian itu, tahun lalu mengesahkan perda ”toko-toko boleh tidak melayani pembeli gay atau lesbian”. 

Hari kedua setelah penembakan di Pulse, arus diskusi publik pun berubah arah. Hanya satu hari nama Islam banyak dikaitkan. Hanya di hari pertama. Yakni ketika fakta dan kesaksian tersebut belum terungkap. Memasuki hari kedua, justru Trump yang jadi bulan-bulanan. Hillary Clinton dalam pidato khusus menyikapi peristiwa itu menilai Trump bukan jenis warga Amerika seperti yang diinginkan orang Amerika.

Isu pun beralih ke soal upaya pengaturan kepemilikan senjata, ke soal gay dan bahkan ke soal tatanan sosial baru yang harus dibangun. Ada juga seorang pendeta di gereja di California yang berkomentar berlebihan: mestinya lebih banyak lagi gay yang harus mati. 

AWALNYA Donald Trump seperti mendapat senjata baru: seorang beragama Islam menembaki orang Amerika di sebuah nite club bernama Pulse di Orlando.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News