Pengamat Nilai GoJek Tidak Perlu Merger dengan Grab

Pengamat Nilai GoJek Tidak Perlu Merger dengan Grab
Tiga inovasi baru GoJek selama menghadapi pandemi. Foto: GoJek

jpnn.com, JAKARTA - Isu merger antara Gojek dan Grab masih menyita perhatian masyarakat. Selain melibatkan dua perusahaan berlevel decacorn di Asia Tenggara, rumor yang berhembus dari luar negeri itu justru terjadi disaat fundamental bisnis Gojek semakin sehat. Bahkan bulan lalu, Gojek berhasil menggaet pendanaan baru dari Telkomsel senilai USD 150 juta.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, dengan berbagai tekanan yang dihadapi, merger akan lebih menguntungkan Grab.

"Secara bisnis, market share Gojek lebih kuat dan memiliki brand image yang lebih positif di Indonesia," kata Bhima.

Grab, menurut Bhima, memang lebih unggul di luar negeri. Tapi, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah kunci bisnis, karena memiliki pasar yang besar.

Pandangan yang sama soal Gojek yang tidak memerlukan merger juga disampaikan Doddy Ariefianto, Ekonom dari Universitas Bina Nusantara (Binus).

"Belum tentu juga Gojek yang bisnis dan namanya lebih kuat di Indonesia membutuhkan itu (merger). Apalagi Gojek masih bisa mengoptimalkan Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara," kata Doddy, Senin (7/12).

Doddy kemudian menyoroti peluang di bisnis keuangan digital. Pangsa pasar layanan jasa keuangan seperti uang elektronik (e-money) atau dompet digital memiliki prospek yang bagus.

"Sekarang ini banyak orang di negara kita maupun di luar negeri sudah semakin melek terhadap penggunaan cashless. Ini menjadi indikator yang baik buat pengembangan bisnis perusahaan seperti Gojek," imbuh Doddy yang pernah menjadi Ekonom di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Isu merger antara Gojek dan Grab menimbulkan kehebohan di mancanegara, ini pendapat pengamat soal isu tersebut

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News