Penguatan HAM Berbasis Demokrasi

Oleh: H. Jazilul Fawaid (Anggota Komisi III DPR RI/Wakil Ketua RI)

Penguatan HAM Berbasis Demokrasi
Anggota Komisi III DPR RI/Wakil Ketua RI, H. Jazilul Fawaid. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com - Sepekan yang lalu masyarakat internasional memperingati Hari HAM Internasional. Peringatan yang dilaksanakan rutin setiap tahun tersebut dimaksudkan untuk mengenang diadopsinya Universal Declaration of Human Right (UDHR) oleh Majelis Umum PBB pada 1948 sebagai pernyataan global pertama mengenai HAM.

Peringatan tahun ini mengangkat tema yang menarik sekaligus menantang yakni Youth Standing Up for Human Rights. Dua bulan sebelum peringatan Hari HAM Internasional, tepatnya pada 17 Oktober 2019, Indonesia terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB untuk Periode 2020-2022.

Dua momen HAM skala internasional tersebut sudah selaiknya dicermati secara mendalam oleh segenap pemangku kepentingan di Indonesia, termasuk masyarakat Indonesia sendiri. Secara formal, Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat sangat menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana pengakuan terhadap HAM dilekatkan pada empat konsensus dasar kebangsaan. Secara teknis, pemerintah era reformasi juga telah mengatur HAM secara spesifik dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Namun demikian, pengakuan terhadap HAM harus berada pada level kontekstualitas, bukan sekedar konseptualitas saja, terlebih lagi Indonesia sudah berada pada milieu demokrasi yang dapat menjadi fondasi yang kuat bagi penegakan HAM. Korelasi antara dua konsep tersebut dapat dijumpai pada berbagai pemikiran seperti gagasan bahwa HAM serta perlindungan terhadapnya merupakan bagian penting dalam demokrasi (Budiardjo, 2007:211). Demokrasi sendiri hanya dapat diterapkan oleh negara hukum (rechsstaat) yang memberikan perlindungan serta pengaturan terhadap seperti yang dinyatakan oleh Julius Stahl.

Dalam dinamika kehidupan bernegara pasca runtuhnya otoritarianisme orde baru, banyak perubahan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan parlemen dalam melindungi dan mengawal penegakan HAM. Pada era Presiden Gus Dur misalnya, banyak gebrakan yang dilakukan seperti mencabut Inpres No. 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina yang sangat mendiskriminasi etnis Tionghoa. Selain itu, Gus Dur juga membubarkan Bakorstranas dan menghapus Litsus yang dianggap menindas kebebasan masyarakat. Upaya penguatan HAM pasca 1998 juga dapat dilihat pada penguatan kelembagaan Komnas HAM yang sebelumnya hanya didasarkan pada keputusan presiden, menjadi berlandaskan pada undang-undang.

Upaya penguatan penegakan HAM dalam lajur demokrasi saat ini tentu saja tidak menjadi tanggung jawab satu lembaga saja, tapi juga menjadi tanggung jawab segenap komponen negara. Pemerintah selaku pihak eksekutif dituntut untuk memproduksi kebijakan publik yang mengacu pada landasan konstitusional. Parlemen dituntut untuk melakukan pengawasan ketat terhadap pemerintah agar jangan sampai terjadi pelanggaran HAM dalam setiap kebijakan yang ditetapkan.  Dalam konteks demokrasi, peran serta masyarakat madani juga sangat diharapkan dalam mengeliminir pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas.

Tidak dimungkiri bahwa dalam upaya penegakan HAM di tanah air, banyak kendala yang dihadapi. Kendala ini hadir dari lingkungan domestik dan eksternal yang hendak merongrong kedaulatan negara. Meskipun kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lampau sudah diproses secara hukum, masih ada pihak-pihak yang tak sepenuhnya puas karena langkah yang sudah ditempuh dianggap tidak mamadai. Sedangkan kendala dari pihak luar salah satunya  dapat dilihat pada upaya Vanuatu dan Kepulauan Solomon, dua negara kawasan Pasifik yang menyerang Indonesia di Sidang Majelis Umum PBB pada September yang lalu dengan tuduhan pelanggaran HAM di Papua.

Berbagai kendala tersebut seyogianya dimaknai positif sebagai saran dan masukan konstruktif bagi upaya penguatan penegakan HAM di tanah air. Para pemangku kepentingan juga harus bersikap cermat dan bijak. Tuduhan dari Vanuatu dan Kepulauan Solomon terhadap Indonesia sebagai pelanggar HAM di Papua sudah semestinya disikapi secara tegas karena motif mereka adalah mendukung gerakan separatisme (state sponsored separatism), bukan memperjuangkan isu-isu kemanusian. Namun sikap tegas tersebut haruslah berada pada koridor norma-norma internasional yang disepakati bersama. Hal ini juga berlaku pada level domestik. Segala tuntutan atas penanganan HAM yang dianggap kurang memadai harus direspons secara bijak dan berpijak pada hukum yang berlaku.

Ada beberapa langkah yang bisa diambil para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah dan parlemen untuk penguatan penegakan HAM di Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News