Penjelasan Kementan Tetap Mengimpor Jagung

Penjelasan Kementan Tetap Mengimpor Jagung
Rasidi, petani jagung Desa Tegowanu Wetan, Tegowanu, Grobogan, Jateng beristirahat usai memanen jagung (14/10). Dia puas dengan hasil panen jagung pada MK 2018 yang harga jualnya dinilai menguntungkan. Foto: Humas Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Rapat koordinasi terbatas yang digelar para menteri beberapa waktu lalu melahirkan keputusan impor jagung pakan ternak sebanyak 100.000 ton. Adapun yang ditunjuk melakukan impor adalah Perum Bulog. Impor ini dinilai kurang pas. Karena pada kenyataannya, Kementerian Pertanian menyebutkan produksi jagung nasional mengalami surplus.

Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro menjelaskan, produksi jagung nasional di 2018 mengalami surplus 12,98 juta ton pipilan kering (PK). Bahkan telah dilakukan ekspor jagung sebanyak 372.990 ton ke Filipina dan Malaysia.

Syukur menjelaskan, data surplus didapat dari selisih antara perkiraan produksi jagung nasional dengan proyeksi kebutuhan jagung nasional di 2018. Berdasarkan data BPS yang diterima Kementan, produksi jagung di tahun 2018 diperkirakan mencapai 30 juta ton PK, sedangkan data Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan memproyeksi kebutuhan jagung 15,5 juta ton di 2018.

Soal adanya impor padahal Indonesia ekspor, Syukur mengatakan, pemerintah memang harus melakukan hal itu untuk menstabilkan harga jagung yang melewati harga pokok penjualan (HPP) yang dipatok Rp 4.000 perkilogram. Berdasarkan data Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) harga jagung sudah mencapai Rp 5.200-Rp 5.300 per kg.

"Impor maksimum 100.000 ton untuk kebutuhan para petani ternak mandiri. Kenyataan jagung kita surplus sehingga untuk impor itu hanya bagi yang membutuhkan, saat ini para peternak mandiri," papar dia di Gedung Kementan, Jakarta, Sabtu (3/11).

Syukur mengatakan, masalah distribusi menjadi alasan mengapa harga jagung meningkat. Hal ini karena sebaran waktu dan lokasi produksi jagung yang bervariasi. Selain itu pabrikan pakan ternak tidak berada di sentra produksi jagung, sehingga perlu dijembatani antara sentra produksi dengan pengguna agar logistiknya murah.

"Kita ambil contoh, biaya transportasi dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Tanjung Pandan, Belitung biayanya lebih mahal dibandingkan kalau kita melakukan penjualan ekspor ke malaysia, dari Pelabuhan Priok ke Pelabuhan Port Klang, Malaysia," jelasnya.

Secara rinci, untuk transportasi dari Tanjung Priok ke Pelabuhan Tanjung Pandan, tiket untuk mobil angkut dengan kapasitas 14 ton sebesar Rp33 juta. Biaya ini belum termasuk biaya solar mobil dan biaya lainnya.

Pemerintah harus melakukan impor jagung untuk menstabilkan harga pokok penjualan yang dipatok Rp 4.000 perkilogram.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News