Penjelasan Menag Terkait Isu RUU Cipta Kerja Bahayakan Ulama dan Pesantren

Penjelasan Menag Terkait Isu RUU Cipta Kerja Bahayakan Ulama dan Pesantren
Menteri Agama Fachrul Razi.Foto: Ricardo/JPNN.com

Terkait pendirian, Fachrul menjelaskan, pada Pasal 6 UU 18/2019 mengatur bahwa pesantren didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat.

Pendirian Pondok Pesantren wajib berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil 'alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika. 

Pesantren juga harus memenuhi unsur-unsurnya, yaitu Kiai, Santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau musala, dan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiyah dengan Pola Pendidikan Muallimin.

"Jika persyaratan itu sudah terpenuhi, maka pesantren memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili Pesantren. Selanjutnya, penyelenggara mendaftarkan keberadaan pesantren kepada menteri," jelasnya.

Jika semua syarat terpenuhi, Menteri Agama memberikan izin terdaftar dalam bentuk Surat Keterangan Terdaftar atau SKT.

Meski izin dikeluarkan Menag, proses pengajuan pendaftaran tidak harus langsung ke Kemenag pusat di Jakarta, melainkan dilakukan berjenjang melalui Kanwil Kemenag Provinsi. 

"Proses pengajuan izin pesantren melalui Kanwil Kemenag akan diatur dalam Peraturan Menteri Agama yang saat ini tengah difinalisasi," ujar Menag.

Yang terpenting, lanjutnya, RPMA tidak mengatur sanksi pidana. Hanya, bagi pesantren yang menyalahi komitmen pendiriannya, sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU Pesantren, akan dicabut SKTnya.

Menag memberikan klarifikasi terkait informasi di media sosial bahwa RUU Cipta Kerja mengancam eksistensi pesantren.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News