Polemik Jilbab dan Realitas Politik

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Polemik Jilbab dan Realitas Politik
Gubernur Anies Baswedan, Ferry Farhati, dan besan berfoto bersama Presiden Jokowi dan Ibu Iriana saat malam resepsi Mutiara Annisa Baswedan-Ali Saleh di Candi Bentar Hall, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (29/7). Foto: dokumentasi Pemprov DKI.

Pro dan kontra meluas secara nasional. Publik Sumbar menuntut agar budaya lokal yang bersendikan syariah Islam diakui.

Masyarakat Minangkabau, Sumbar punya tradisi ‘’adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’’, tradisi bersendikan syariah dan syariah bersendikan kitabullah Al-Qur'an. Banyak yang tidak setuju ketika hal itu dipakai sebagai justifikasi untuk mengharuskan semua siswi untuk memakai jilbab sebagai bagian dari adat Minangkabau yang bersendikan syariah.

Keributan itu mereda dengan sendirinya. Sekarang, Presiden Joko Widodo sudah meneken ‘’Undang-Undang Sumatera Barat’’ yang secara resmi mengakui tradisi Minangkabau yang bersendikan syariah. 

Dengan undang-undang itu masyarakat Minangkabau boleh mengekspresikan adat-istiadat Islam dalam praktik kehidupan sehari-hari, termasuk memakai jilbab di sekolah.

Sebutlah ini sebagai pragmatisme Jokowi untuk menarik simpati pemilih di Sumatera Barat yang selama ini cenderung antagonististis. 

Akan tetapi, itulah realitas politik yang menunjukkan bahwa konservatisme di Indonesia masih sangat kuat, dan tetap akan menjadi faktor penentu dalam kontestasi politik pada 2024. (*)

Debat jilbab menjadi simbol pertarungan antara sekularisasi dan formalisasi agama di Indonesia sampai sekarang.


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News