Poo Cendana
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
Selama ini sawah-sawah tersebut ditanami padi. Hasilnya diambil oleh penggarap. Ketika Pak Poo meninggal, padi di sawah tersebut sudah menguning. Sudah waktunya panen.
Di sawah itulah, menurut rencana, kremasi dilakukan. Di seputar apinya akan didirikan tribun untuk sekitar 1.500 pendoa dari berbagai aliran Buddha. Termasuk ratusan orang dari Taiwan dan Thailand.
Doa-doa itu dipanjatkan dalam pengaruh wibawa Borobudur yang terlihat dengan sangat dekatnya.
Saya dengar hanya kayu-kayu khusus yang dipakai untuk membakar jenazah Pak Poo. Yakni kayu cendana. Akan sangat harum baunya –akan tercium oleh Candi Borobudur yang memberkatinya.
Di antara banyak orang di aula wihara itu terlihat ada satu yang berwajah India. Bajunya biru. Dia adalah salah satu dari empat perawat Pak Poo selama sekitar delapan bulan sakit di Singapura.
Empat perawat itu satu berdarah India, satu Tionghoa, satu Melayu, dan satunya lagi campuran Tionghoa-Melayu. Mereka sudah seperti keluarga sendiri.
Sehari sebelum meninggal, Pak Poo sudah tahu umurnya hanya tinggal hitungan jam. Menjelang tengah malam, satu perawat yang paling disayang harus pulang. Diganti perawat lain.
Saat si perawat pamit, Pak Poo bilang mungkin segera meninggal. "Tahan," kata perawat itu, "tunggu sampai saya bertugas lagi besok pagi," katanya.