Prediksi Arya Tentang Reshuffle Kabinet Indonesia Maju

Prediksi Arya Tentang Reshuffle Kabinet Indonesia Maju
Peneliti politik CSIS Arya Fernandez (tengah) bersama anggota DPR RI Arkanata Akram dan Ekonom Indef Bhima Yudhistira saat diskusi bertajuk "Kabinet Indonesia Maju dan PR Bangsa" di Media Center DPR, Rabu (30/10). Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo telah melantik 34 menteri dan 12 wakil menteri, yang akan menjadi tim pembantunya di Kabinet Indonesia Maju lima tahun ke depan.

Pengamat politik CSIS Arya Fernandez menilai perombakan kabinet atau "reshuffle" mungkin terjadi di kepemimpinan kedua Jokowi karena Presiden ingin memaksimalkan kerja para pembantunya di kabinet.

Karena itu, dia menilai para menteri dan wakil menteri harus siap di-reshuffle kalau kinerjanya dianggap tidak baik oleh Presiden.

"Reshuffle itu mungkin terjadi karena terkait evaluasi dengan begitu kita butuhkan satu lembaga kepresidenan yang kuat," kata Arya dalam diskusi bertajuk "Kabinet Indonesia Maju dan PR Bangsa" di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/10).

Arya Fernandez memprediksi, kemungkinan reshuffle Kabinet Indonesia Maju akan terjadi di tahun pertama. "Kalau kita lihat jejak apa yang terjadi di periode pertama, Pemerintahan Jokowi melakukan tiga kali reshuffle, tahun 2015, masuknya Golkar ada di 2016 dan di 2018, tiga kali seingat saya,” ujar Arya.

Menurut Arya, kabinet yang sudah terbentuk saat ini lebih kepada untuk mengakomodasi kepentingan partai sehingga Presiden Jokowi memiliki kendala dalam menciptakan ‘dream team’.

“Itu terkendala karena presiden harus melakukan akomodasi yang sangat besar ke partai-partai dan tidak hanya ke partai-partai pendukung pemerintah tapi juga kepada partai partai yang menjadi rivalnya,” ungkap Arya.

Arya menambahkan, kemungkinan reshuffle juga terjadi karena di saat bersamaan, Presiden ingin membenahi tim dalam kabinetnya di tahun kedua, setelah mengakomodasi kepentingan partai pendukung.

Pengamat politik CSIS Arya Fernandez menilai perombakan kabinet atau reshuffle mungkin terjadi di kepemimpinan kedua Jokowi karena Presiden ingin memaksimalkan kerja para pembantunya di kabinet.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News