PRIMA Desak Pemerintah Usut Tuntas Penggunaan Mortir di Papua

PRIMA Desak Pemerintah Usut Tuntas Penggunaan Mortir di Papua
Juru Bicara PRIMA khusus Papua Arkilaus Baho. Foto: Dok. PRIMA

Sebab, menurut dia, BIN tidak memiliki kewenangan penggunaan senjata berdaya ledak seperti mortir.

Selain itu, harus ada pertanggungjawaban dari pihak terkait dalam aksi yang berujung pada pemusnahan orang asli Papua (OAP) tersebut.

Arki menyampaikan laporan investigasi itu memberikan fakta baru bahwa BIN sebagai lembaga negara sudah tidak berdaya dalam penanganan konflik di provinsi paling timur Indonesia itu.

“Pendekatan bersenjata dalam menyelesaikan persoalan Papua tak menyelesaikan masalah. Pendekatan humanis, kesejahteraan dan kultur yang tidak berdaya rusak harus segera dilakukan,” ucapnya.

Menurut Arki, sejak awal PRIMA dan kelompok sipil lainnya sudah menekankan agar pemerintah mengedepankan pendekatan persuasif yang berbasis pada kemanusiaan dan kebangsaan dalam penanganan konflik di Papua.

“Merajut Papua sebagai salah satu bangsa dalam bingkai NKRI adalah pendekatan nilai-nilai Pancasila. Kami (PRIMA) punya jalan penyelesaian konflik secara permanen, yaitu Dewan Rakyat Papua (DRP),” tutupnya.

Untuk informasi, kelompok pemantau senjata yang berbasis di London, Conflict Armament Research (CAR) dalam laporan yang kini di publis secara luas itu, menuding Badan Intelijen Negara (BIN) membeli 2.500 mortir dari Serbia untuk agen mata-mata RI di Papua dan dijatuhkan ke desa-desa di wilayah wilayah konflik pada 2021.

Konflik kian memanas dan berdampak pada operasi keamanan negara besar-besaran tahun 2021, mengakibatkan 282 pengungsi asal Kiwirok dan sekitarnya.

DPW PRIMA Papua mendesak pemerintah atau pihak terkait mengusut tuntas penggunaan mortir dalam menangani konflik di wilayah Papua.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News