Prita Sukses, Tiananmen Berdarah

Prita Sukses, Tiananmen Berdarah
Prita Sukses, Tiananmen Berdarah

Tak hendak membela Sri Mulyani dan Boediono. Tetapi, menyaksikan gambar-gambar keduanya dibakar oleh para demonstran, rasanya sangat sepihak. Sri Mulyani bersedih. Ia merasa dihukum sebelum dihukum, seraya mengutip kisah Lothario dalam "Sandiwara yang Tak Diumumkan" karya Multatuli yang terkenal itu. Semua alasannya ditepiskan, dan ia tetap dianggap bersalah. Dan bersalah.

Padahal, proses penanganan secara hukum oleh KPK bekerjasama dengan polisi dan kejaksaan masih berlangsung. Juga proses politik di DPR melalui Pansus Angket Century. Mengapa kita semua tidak memilih menunggu saja, ketimbang menekan melalui aksi-aksi politik di jalanan?

Melukai Sri Mulyani - ah, saya hanya mengenal dia melalui televisi - tak mustahil melahirkan simpati. Megawati pernah mengalaminya di era Orde Baru, dan melahirkan dukungan yang luar biasa kepada Mega pada Pemilu 1999 silam. Bahkan, Yudhoyono pun keciprat simpati publik ketika "disakiti" Taufik Kiemas dan Megawati, sehingga ia memenangkan Pilpres 2004.

Misalkan, gerakan mahasiswa China di Lapangan Tiananmen, Beijing, pada musim semi 1989 silam tidak bertahan, tetapi kembali ke kampus, barangkali gerakan mereka akan mengubah China lebih cepat. Dengan sejuta simpatisan di lapangan, dan mereka segera kembali ke kampus, agaknya gerakan mereka sangat fenomenal. Apalagi seluruh dunia juga mendukung.

LARILAH. Menghindar saja. Tak berarti kehilangan muka. Lari identik dengan mengalah. Bukan kalah. Inilah sebuah taktik dan strategi ketika berhadapan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News