PTUN Makassar Salah Konstruksi Hukum, MA Harus Jernih

PTUN Makassar Salah Konstruksi Hukum, MA Harus Jernih
Pilkada 2018. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar dinilai keliru dalam mengkonstruksi hukum terkait gugatan Pilkada Kota Makassar yang ditanganinya, sehingga putusan PTUN tanggal 21 Maret 2018 lalu yang mengabulkan gugatan penggugat, agar KPU Makassar segera mencabut keputusan terkait pasangan Mohammad Ramdhan Pomanto dan Indira Mulyasari sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar pun keliru atau salah. Kini, keadilan terakhir bagi pasangan calon yang dirugikan terletak di pundak MA, karena KPU Kota Makassar mengajukan kasasi atas putusan PTUN tersebut.

Pandangan tersebut dikemukakan Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar, Prof Amiruddin Ilmar dan Ahli Hukum dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Prof Laode Husain yang dihubungi terpisah, Minggu (1/4).

Amiruddin menyarankan hakim MA harus jernih melihat kontruksi hukum yang terjadi antara sengketa pemilihan tata usaha negara pemilihan dengan pelanggaran administrasi pemiliuhan. Jika keputusan MA tidak jernih bisa terkean KPU dipaksa unyuk batalkan penetapan pasangan calon. Sebab sebelumnya tidak pernah dipersoalkan. Jadi pasal yang dituduhkan bahwa ada pelanggaran adminsitrasi, bukanlah sengketa pemilihan.

Guru Besar Unhas ini menilai, hakim PTUN Makassar salah mengkonstruksi hukum, sebab gugatan yang diajukan bukan sengketa PTUN, tapi masuk kategori pelanggaran admistrasi pemilihan. Hakim juga terlalu menyederhanakan pelanggaran sebagaimana Pasal 71 ayat (3) UU No 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Di situ diatur bahwa kepala daerah (gubernur, wagub, bupati/walikota) dilarang menggunakan kewenangan melaksanakan program dan kegiatan yang merugikan calon lain dalam jangka waktu enam bulan sebelum penetapan. Jung to Peraturan KPU No 15 tahun 2017 Pasal 89 (2) diatur tentang petahana dilarang menggunakan kewenangan untuk keuntungan pemilihan dalam jangka waktu enam bulan

“Nah, mengacu pada aturan itu, kalau disebut petahana kan setelah ditetapkan. Kalau sebelum ditetapkan bukan petahana, yang bersangkutan adalah pejabat yang melaksanakan program. Jadi kalau yang digugat SK Penetapan KPU tentang pasangan calon, itu sangat aneh apalagi pasangan lain tidak merasa dirugikan dan juga tidak ada pengaduan atas penetapan. Karena itu KPU tetapkan dua hal, pertama syarat calon dan kedua syarat pencalonan,” papar Amiruddin.

Dia menegaskan lagi, seharusnya dasar gugatan itu pada pelanggaran, bukan sebagai sengketa. Jadi, hakim PTUN salah mengkonstruksikan faktor-faktor dan hukumnya (pelanggaran sebagai sengketa). Akibatnya, putusan PTUN otomatis keliru.

“Karena itu saya memohon hakim MA jernih melihat konstruksi hukum yang terjadi. Masyarakat Kota Makassar menunggu putusan MA yang adil. Jika keputusan MA sama dengan putusan PTUN yang keliru, Pilkada hanya akan diikuti satu pasangan yang akan melawan kotak kosong. Dan ini secara demokratis tidak memberi pendidikan politik yang baik, karena masyarakat tidak diberi alternatif pemilihan, padahal Indonesia sudah menjadi negara demokrasi terbesar keempat di dunia,” ujar Amiruddin.

Sementara guru besar FH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Laode Husain juga menilai PTUN Makassar salah dalam penerapan hukum. Menurutnya, keputusan KPU Kota Makassar dalam menetapkan dua pasangan calon sudah benar dan seharusnya tidak bisa digugat. Karena itu, ketika PTUN memutuskan sesuatu yang keliru terkait pasangan calon ini, maka KPU sangat berhak melakukan kasasi ke MA.

Hakim MA harus jernih melihat kontruksi hukum yang terjadi antara sengketa pemilihan tata usaha negara pemilihan dengan pelanggaran administrasi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News