Puasa Lokal

Oleh: Dahlan Iskan

Puasa Lokal
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Grup senam saya juga sudah terbiasa: hari apa pun mulai puasanya, tidak berpengaruh pada kegiatan olahraga. Memang ada yang bersuara: puasa-puasa kok olahraga. Saya pun begitu: dahulu.

Lalu saya ingat ayah saya: biarpun bulan puasa tetap ke sawah. Mencangkul. Di bawah terik matahari. Punggung telanjangnya seperti terbakar. Sesekali disiram air bercampur lumpur. Tanpa mengenakan baju atau kaus.

Ayah membanting tulang selama lima jam: pukul 05.00 sampai 10.00. Hanya mengenakan caping dan celana komprang.

Sorenya masih mencangkul lagi di pekarangan. Olahraga ini tidak ada beratnya sama sekali kalau saya ingat ayah saya itu.

Rasanya sudah takdir Indonesia untuk sering punya perbedaan waktu puasa atau Lebaran.

Selisih tiga jam antara wilayah paling timur dan paling berat membuat perbedaan itu sebagai keniscayaan.

Anggap saja, ada kesepakatan, waktu puasa tiba kalau bulan sudah terbit setinggi 3 derajat. Maka tinggal dihitung: kota/daerah mana saja yang sudah harus mulai puasa. Rasanya tidak ada yang rumit.

Agama, ketika A-nya sudah menjadi huruf besar, memang cenderung menjadi rumit. Islam, ketika I-nya sudah menjadi I-besar demikian pula. Hak-hak pribadi untuk meyakini sesuatu sudah diambil oleh kelompok-kelompok agama.

Maka sudah saatnya dimulainya puasa pun diatur seperti azan Magrib. Beda kota beda mulai puasanya. Kian ke barat kian awal hari puasanya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News