Puasa Menahan Hasrat Berlebih

Oleh Dr. Haedar Nashir*

Puasa Menahan Hasrat Berlebih
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Foto JPNN.com

Apakah watak-watak dan perangai buruk terkikis? Sebutlah sikap temperamental, arogan, mudah marah, berujar keburukan, aura kebencian, permusuhan, merendahkan sesama, mencerca golongan lain yang tak sepaham, dan segala perangai onar yang melambangkan perilaku primitif di ruang publik!

***

Setiap muslim paham puasa itu al imsaak, bermakna menahan diri. Menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan hasrat biologis sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Sesuatu yang sehari-hari dihalalkan pada waktu puasa diharamkan.

Artinya, betapa puasa bukan sekadar rukun syariat belaka, karena relatif mudahnya orang secara fisik menahan tiga syahwat duniawi itu untuk ditunaikan, hatta meskipun berat bagi mereka yang berpuasa di atas 12 jam seperti di negeri-negeri Skandinavia.

Semudah itukah berpuasa, terlebih bagi yang sudah terbiasa? Secara rukun syariat tentu mudah.

Namun, bagaimana dimensi hakikat dan makrifat dari puasa dan segala rangkaian ibadah di bulan yang agung itu? Hingga di sini, pada titik yang esensial dan eksistensial, fungsi kerohanian puasa penting untuk terus dipertanyakan dan dihayati setiap insan yang berpuasa dan beribadah lain di setiap kehadiran Ramadan.

Takhta, harta dan segala kebutuhan indrawi itu memang manusiawi untuk dipenuhi, tetapi jangan berlebihan. Bukankah Allah SWT memperingatkan, “Wa-kuluu wasrabuu walaa tusrifuu” atau “Makan dan minumlah, dan jangan berlebihan” (QS Al A’raf: 31).

Ketika seseorang atau sekelompok orang mengejar jabatan (takhta) maupun materi (uang, harta) dan segala kepentingan duniawi secara berlebihan, akan terjadi pemutlakan. Sehingga yang terlahir karakter to be or not to be atau sikap hidup-mati.

Marhaban ya Ramadan. Selamat datang puasa Ramadan. Para sosialita, bahkan program televisi pun, kian akrab dengan aktivitas Ramadan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News