Quo Vadis Penegakan HAM di Papua?

Oleh: Dr. Filep Wamafma, SH, M.Hum (Anggota DPD RI Dapil Papua Barat)

Quo Vadis Penegakan HAM di Papua?
Anggota DPD RI Papua Barat, Dr. Filep Wamafma. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com - Minggu, 5 Desember 2020, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa menegaskan bahwa ada 7 (tujuh) langkah strategis yang telah dilakukan Pemerintah Pusat untuk percepatan pembangunan kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.

Pertama, pemerintah menegaskan bahwa Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah langkah asimetris, afirmatif, dan kontekstual dalam mengelola pembangunan, pemerintahan daerah, dan pelayanan publik di Tanah Papua.

Kedua, Otsus telah membuka ruang bagi Orang Asli Papua (OAP) untuk berperan serta dalam pemerintahan daerah. Ketiga, Otsus menjadi panduan pemerintah melalui Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.

Keempat, langkah Presiden Joko Widodo melalui adopsi pendekatan kultural wilayah adat dan ekologis dalam perencanaan pembangunan nasional. Kelima, komitmen untuk memberdayakan OAP dalam ruang publik, baik di jajaran kementerian/lembaga, TNI/Polri, dan BUMN.

Keenam, pemerintah juga menetapkan Provinsi Papua sebagai tuan rumah PON XX Tahun 2020. Ketujuh, berbagai kebijakan afirmatif untuk Papua didasarkan dengan kondisi global yang berlangsung.

Ketujuh langkah ini sesungguhnya tidak membedakan Papua dan Papua Barat dari provinsi lain. Tidak ada kekhususan yang afirmatif. Mengapa? Bila Pemerintah memahami kondisi Papua, persoalan pertama-tama yang membuat adanya penolakan terhadap berbagai kebijakan afirmatif untuk Papua dan Papua Barat adalah pengesampingan penegakan HAM.

Amnesty International Indonesia mencatat, hingga September 2020, total pembunuhan di luar hukum di Papua sepanjang 2020 saja setidaknya mencapai 15 kasus dengan total 22 korban.

Belum lagi bila dihitung dengan peristiwa penembakan dan rasisme. Lima kasus yang belum pernah selesai ialah kasus Biak Numfor pada Juli 1998, peristiwa Wasior pada 2001, peristiwa Wamena pada 2003, peristiwa Paniai pada 2014, dan kasus Mapenduma pada Desember 2016. Ditambah lagi kini peristiwa Nduga dan penembakan Pendeta Yeremias.

Orang Asli Papua merupakan wajah peradaban yang harus dihormati harga dirinya. Konflik-konflik yang terjadi hanya mengafirmasi dan mengulangi ritme pelanggaran HAM.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News