Rasialisme dan Politik Luar Negeri Indonesia di Pasifik: Teman atau Lawan?

Oleh: Arman Wakum

Rasialisme dan Politik Luar Negeri Indonesia di Pasifik: Teman atau Lawan?
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Arman Wakum. Foto: Dokpri

Perjalanan Papua bersama Indonesia pun bukanlah sebuah perjalanan yang mulus. Sering sekali mengalami pasang surut dan ketegangan.

Sejarah kemerdekaan Indonesia memotretnya dengan jelas. Bagaimana Hatta dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) memilih untuk tidak memasukkan Papua ke dalam bagian wilayah Indonesia karena faktor etnisitas.

Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Deen Haag, Belanda 1949 pun Papua belum mendapatkan status kepemilikan yang jelas. Tahun 1961 melalui seruan Trikora (Tri Komando Rakyat) oleh Bung Karno mengultimatum Belanda agar secepatnya menyerahkan Papua kepada Indonesia. Melalui proses panjang New York Agreement 1962, Roma Agreement 1962, Pepera 1969 status Papua kemudian beralih kepemilikan kepada Indonesia.

Papua semasa Orde Baru (1967-1998) belum begitu “diperhatikan”. Bahkan menurut sebuah laporan berjudul: Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan & Pelanggaran HAM, 1963-2009 yang merupakan hasil dokumentasi bersama kelompok kerja pendokumentasian kekerasan dan pelanggaran HAM Perempuan Papua mengungkapkan bahwa kurang lebih terjadi 15 kali Operasi Militer di Papua sejak 1963-2004.

Ketika angin reformasi melanda Indonesia, barulah negara sedikit demi sedikit mulai memberikan perhatian yang lebih kepada Papua. Hal ini bukan tanpa sebab. Tim 100 yang beranggotakan perwakilan OAP datang menghadap Presiden BJ. Habibie di Istana Negara dan meminta untuk keluar secara baik-baik dari Indonesia (Merdeka Penuh). Hal ini menjadi perenungan dan catatan pemerintah untuk secepatnya mencari win-win solution.

Di masa pemerintahan Megawati, ditandatanganilah UU No. 21 Tahun 2001 untuk memberikan Status Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua. Pemberlakuan Otsus Papua telah memasuki tahun ke-19 (2021). Namun tampaknya Papua masih sulit untuk mengejar ketertinggalannya dari wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Papua masih berada di urutan terbawah dari 34 provinsi diukur memakai beberapa indikator utama kesejahteraan, misalnya angka kemiskinan, tingkat pendidikan, dan kesehatan.

Di samping fakta-fakta di atas, beberapa saat lalu masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan di media tentang tudingan Vanuatu tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia di Papua. Indonesia tentu tidak tinggal diam. Melalui diplomat mudanya di PBB, berusaha menjawab tudingan tersebut.

Perlu diingat bahwa isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) di seluruh dunia adalah isu sensitif yang bisa mendamaikan atau menjadi faktor perpecahan sebuah negara.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News