Rasialisme dan Politik Luar Negeri Indonesia di Pasifik: Teman atau Lawan?

Oleh: Arman Wakum

Rasialisme dan Politik Luar Negeri Indonesia di Pasifik: Teman atau Lawan?
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Arman Wakum. Foto: Dokpri

Ada 2 organisasi utama di kawasan ini, Pasifik Island Forum (PIF) dan Melanesian Sparehead Group (MSG). Jika negara utama di PIF adalah Australia, Selandia Baru, dan Papua Nugini, maka Vanuatu memegang peranan utama di MSG. Negara-negara yang tergabung di MSG ialah Timor Leste, Papua Nugini, Vanuatu, Kaledonia Baru, Kepulauan Salomon, dan Fiji. Total jumlah Etnik Melanesia di negara-negara ini mencapai 9 juta jiwa.

Konsep Melanesian Socialism dan Melanesian Solidarity pertama kali dicetuskan oleh Perdana Menteri pertama Vanuatu ketika negeri ini baru saja merdeka pada 1981. PM pertama saat itu, yakni Walter Hayde Lini dalam rangka mengampanyekan kemerdekaan untuk daerah-daerah etnis Melanesia yang belum merdeka, misalnya orang Kanak di Keledonia Baru, Timor Leste, dan Papua, Hayde mengutarakan kalimat yang kemudian menjadi semboyan Vanuatu hingga hari ini: Vanuatu will not be free until the entire of Melanesia is free.

Kalimat ini menjadi semacam energi dan cita-cita Vanuatu yang ditularkan kepada seluruh negara-negara anggota MSG agar berjuang hingga semua wilayah-wilayah beretnis Melanesia dapat meraih kemerdekaan penuh.

Tindakan Vanuatu yang nyata ialah pada KTT PIF pada 2010. Sebagai negara yang mendapat giliran untuk memimpin, Vanuatu memanfaatkan posisinya untuk membantu menyuarakan tentang kondisi HAM di Papua.

Vanuatu juga memberikan akses bagi para pejuang kemerdekaan Papua yang tergabung di dalam ULMWP untuk terus berjuang. Indonesia menanggapinya dengan masuk serta menjadi bagian dari MSG dan berhasil diterima sebagai Associate Member di MSG setelah sebelumnya hanya sebagai Observer.

Alasan bergabungnya Indonesia di MSG disebabkan karena jumlah etnis Melanesia di Indonesia hampir mencapai 13 juta dan diklaim sebagai yang terbanyak di Pasifik. Status sebagai Associate Member membuat Indonesia memiliki akses utama terhadap dokumen rahasia.

Hak istimewa ini tidak berlaku bagi negara-negara yang masih berstatus Observer. Vanuatu saat itu tidak berhasil untuk menjadikan ULMWP sebagai Associate Member. Namun hal ini tidaklah mematahkan semangat Vanuatu untuk terus membantu ULMWP sebagai perwakilan sah dari kelompok “Pro Papua Merdeka” di luar negeri untuk terus berjuang.

Maka tindakan Vanuatu di PBB sejak 2016-2020 dapat “dimaklumi” karena dilatarbelakangi oleh faktor persamaan etnis atau ras.

Perlu diingat bahwa isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) di seluruh dunia adalah isu sensitif yang bisa mendamaikan atau menjadi faktor perpecahan sebuah negara.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News