Rasialisme dan Politik Luar Negeri Indonesia di Pasifik: Teman atau Lawan?

Oleh: Arman Wakum

Rasialisme dan Politik Luar Negeri Indonesia di Pasifik: Teman atau Lawan?
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Arman Wakum. Foto: Dokpri

Setelah mengetahui fakta sederhana ini, menurut beberapa pakar politik di Tanah Air, Indonesia perlu berhati-hati dalam menanggapi tiap aksi dari Vanuatu. Meskipun berstatus negara kecil, namun dukungan Vanuatu adalah atas dasar persamaan Ras atau Etnis.

Perlu diingat bahwa isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) di seluruh dunia adalah isu sensitif yang bisa mendamaikan atau menjadi faktor perpecahan sebuah negara bahkan menyebabkan perang serta genocide.

Maka Indonesia harus mulai belajar bagaimana tidak menggunakan isu ini sebagai komoditas atau barang “dagangan” yang dengan mudah diperjualbelikan di ruang publik, apalagi untuk menyerang seorang tokoh di muka umum.

Hal yang menimpa mantan Komisioner HAM Indonesia asal Papua, Natalius Pigai bukanlah sebuah hal baru. Apalagi ini adalah kesekian kalinya ujaran rasial ini menimpa dirinya. Seperti diberitakan ada banyak tokoh politik Indonesia yang sering melakukan ini dan diikuti oleh para pendukungnya. Jumlahnya bahkan bisa mencapai ribuan dan tersebar di media sosial.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pemerintah tidak serius menyelesaikan isu ini. Di satu sisi, negara berusaha mengambil hati Papua dengan Otsus dan menjadi bagian dari MSG. Di lain sisi, ujaran rasial terhadap Papua tidak diselesaikan dengan tuntas.

Di saat yang bersamaan ada negara kecil di Pasifik Selatan yang terus tanpa henti mengampanyekan kemerdekaan bagi Papua karena merasa saudara-saudaranya sesama ras Melanesia diperlakukan secara semena-mena oleh negara dengan mayoritas ras dan agama yang berbeda.

Kita dapat melihat sendiri bagaimana isu rasisme mengguncang negeri Paman Sam beberapa waktu lalu melalui aksi “Black Lives Matter” serta peristiwa rasial terhadap mahasiswa Papua 2019 yang berimbas pada kekacauan di sebagian besar kota-kota utama di Tanah Papua.

Pemerintah harus belajar dari sejarah bagaimana Konflik Sampit (1998), Ambon (1999), Poso (2000), Papua 2019 terjadi. Indonesia tentu tahu bagaimana Yugoslavia (1980-1990an), Rwanda (1994), dan Sudan (2013) terpecah dan menjadi negara-negara kecil.

Perlu diingat bahwa isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) di seluruh dunia adalah isu sensitif yang bisa mendamaikan atau menjadi faktor perpecahan sebuah negara.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News