Rawan Penyadapan, Indonesia Butuh Pusat Intersepsi

Rawan Penyadapan, Indonesia Butuh Pusat Intersepsi
Ilustrasi. Foto: dok jpnn

"Pusat intersepsi ini bertugas mengawasi tindak penyadapan di Indonesia," katanya.

Menurut dia, tujuannya jelas, agar penyadapan tidak dilakukan sembarang pihak dan tidak melebihi izin pengadilan. Sehingga akan lebih elok dan kuat secara legal jika keberadaan lembaga nantinya bisa diakomodasi oleh UU Penyadapan.

Lembaga negara dalam melakukan penyadapan biasanya menggandeng provider telekomunikasi. Hal ini sesuai dengan pasal 42 UU Telekomunikasi di mana provider bisa memberikan akses informasi, apabila ada permintaan tertulis dari Jaksa Agung atau Kapolri untuk tindak pidana tertentu. Dan adanya permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu yang sesuai dengan UU berlaku.

“Pusat intersepsi nantinya bisa mencegah terjadinya saling sadap di luar kewenangan. Bisa saja masyarakat yang tidak masuk dalam target penyadapan sesuai izin pengadilan menjadi korban penyadapan, ini yang harus benar-benar diamankan,” paparnya.

Pelarangan penyadapan yang dilakukan oleh pihak tidak berwenang, diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Salah satu isinya adalah melarang setiap orang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi.

Ancaman pidana dalam pasal 56 UU Telekomunikasi adalah kurungan penjara maksimal 15 tahun. Sedangkan di pasal 47 UU ITE diancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp 800 juta. (boy/jpnn)


 Praktisi keamanan siber Pratama Persadha mengatakan, Indonesia perlu regulasi tentang penyadapan. Menurut dia, kekosongan regulasi bisa membuat


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News