Revisi UU KPK Dinilai Penuh Kejanggalan

Revisi UU KPK Dinilai Penuh Kejanggalan
Ilustrasi KPK. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Revisi Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) inisiatif DPR RI dianggap penuh kejanggalan. Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengkritik keputusan DPR tersebut. Menurutnya, keputusan itu melanggar hukum.

"Pengesahan itu melanggar hukum karena tidak termasuk dalam RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019, yang sudah disepakati bersama antara DPR dan Pemerintah," kata Fajri dalam keterangannya, Kamis (5/9).

BACA JUGA: KPK: Kami Tidak Butuh Revisi UU

Fajri menjelaskan, berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penyusunan RUU dilakukan berdasarkan Prolegnas. Ketentuan tersebut, kata dia, sudah diatur lebih teknis dalam Tata Tertib DPR.

"Pasal 65 huruf d Tata Tertib DPR RI menyatakan bahwa Badan Legislasi bertugas menyiapkan dan menyusun RUU usul Badan Legislasi dan atau anggota Badan Legislasi berdasarkan program prioritas yang sudah ditetapkan," ujar dia.

Selain itu, lanjut Fajri, pada Pasal 65 huruf f Tata Tertib DPR disebutkan bahwa Badan Legislasi bertugas memberikan pertimbangan terhadap RUU yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi di luar prioritas RUU atau di luar RUU yang terdaftar dalam Prolegnas untuk dimasukkan dalam Prolegnas perubahan.

"Dari ketentuan itu dapat dilihat bahwa seharusnya yang dilakukan oleh Baleg DPR adalah untuk diusulkan menjadi RUU prioritas dalam Prolegnas perubahan, tidak langsung menjadi usul inisiatif," jelasnya.

Fajri mengatakan, berdasarkan argumentasi tersebut, PSHK menyesali langkah DPR yang menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. "Termasuk juga ketentuan internal kelembagaannya sendiri, yaitu Tata Tertib DPR," imbuhnya.

Revisi Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) inisiatif DPR RI dianggap penuh kejanggalan. Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengkritik keputusan DPR tersebut.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News