Rupiah dan Persepsi Pasar di Tengah Pandemi Corona

Oleh: Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI

Rupiah dan Persepsi Pasar di Tengah Pandemi Corona
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet. Foto: Humas MPR RI

Sentimen positif itu akan menjadi peluang pemulihan yang berkelanjutan jika penerapan pola hidup baru berhasil menghentikan laju pertambahan jumlah pasien Covid-19. Sebaliknya, jika pola hidup baru gagal, atau justru memicu gelombang kedua penularan wabah Corona, sentimen positif itu akan berubah lagi menjadi negatif. Konsekuensinya, proses pemulihan akan terhenti karena semua pihak harus kembali berkonsentrasi memerangi Covid-19.

Nilai tukar rupiah menguat signifikan sejak Mei 2020. Menguatnya nilai tukar rupiah lebih karena faktor fundamental, seperti rendahnya inflasi dan defisit transaksi berjalan yang relatif aman. Hingga pekan pertama Juni 2020, rupiah sudah terapresiasi 5,27 persen terhadap dolar AS, memasuki kisaran tipis di atas atau di bawah Rp 14.000 per dolar AS.

Valuta rupiah adalah wajah perekonomian Indonesia di pasar uang. Ketika rupiah menguat signifikan, itu mencerminkan persepsi positif terhadap perekonomian Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Persepsi positif itu pun terbukti ketika para pelaku pasar mencatat aksi para investor memindahkan asetnya dari pasar India ke Indonesia.

Pemindahan aset yang  menyebabkan terjadinya lonjakan permintaan rupiah ini juga didorong oleh pemahaman para investor tentang tekad Indonesia menerapkan pola hidup baru. Kalau pola hidup baru mencapai target dan berkelanjutan, mesin perekonomian Indonesia bisa saja akan kembali bergerak lebih awal dibanding banyak negara lain.

Tantangan Bersama

Tantangannya bagi semua elemen masyarakat adalah bagaimana merawat sentimen atau persepsi positif itu. Kewajiban paling utama bagi setiap orang hanyalah mematuhi dan menerapkan protokol kesehatan dengan konsisten. Dengan patuh pada protokol kesehatan, jumlah pasien Covid-19 bisa diturunkan sekaligus terhindar dari kemungkinan gelombang kedua penularan Covid-19. Jika target itu bisa diwujudkan, pola  hidup baru akan menjadi langkah awal pemulihan kehidupan yang berkelanjutan, termasuk pemulihan sektor ekonomi nasional.

Tidak perlu malu untuk belajar dari PSBB yang belum efektif itu. Memasuki pekan kedua Juni 2020, masyarakat prihatin karena dihadapkan pada fakta lonjakan jumlah pasien Covid-19. Laju peningkatan jumlah pasien yang cukup signifikan itu terjadi karena maraknya pelanggaran atas protokol kesehatan selama periode penerapan PSBB. Data dan kecenderungan itu menjadi bukti belum efektifnya peran aparatur pemerintah daerah mengawasi dan mengendalikan kepatuhan warga menjalankan protokol kesehatan.

Ketidakpatuhan pada protokol kesehatan terlihat nyata sejak sebelum hari raya, terutama di banyak pasar tradisional maupun di gerbong kereta rel listrik (KRL). Kerumunan penjual-pembeli di pasar tradisional, serta kepadatan penumpang di gerbong KRL rentan penyebaran Covid-19. Data Tim Komunikasi Gugus Tugas percepatan Penanganan Covid-19 menyebutkan bahwa lebih dari 400 pedagang di 93 pasar tradisional reaktif covid-19.

Menurut Bamsoet, nilai tukar rupiah menguat signifikan sejak Mei 2020. Menguatnya nilai tukar rupiah lebih karena faktor fundamental, seperti rendahnya inflasi dan defisit transaksi berjalan yang relatif aman.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News