RUU Konservasi SDA Hayati Masih Perlu Pendalaman

RUU Konservasi SDA Hayati Masih Perlu Pendalaman
Rapat kerja Komisi IV DPR RI dan jajaran KLHK. Foto: Humas KLHK

Pasal 6 ayat (2) huruf c. jo Pasal 8 ayat (2) menyerahkan sebagian pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya kepada Badan Usaha Milik Negara atau milik daerah, perguruan tinggi, dan badan usaha milik swasta nasional. 

Dalam kaitan pengaturan ini, bisa ditegaskan kembali tentang Hak penguasaan negara atas SDA sesuai pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Penyerahan kewenangan pengelolaan KSDAHE kepada swasta/korporasi, bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD tahun 1945.

Dalam kaitan ini maka sebenarnya pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar serta jasa lingkungan pada zona/blok tertentu dari KSA/KPA telah berlangsung melalui perizinan sesuai UU No. 5 Tahun 1990.

Lebih lanjut dalam hal mengatur Masyarakat Hukum Adat dalam RUU ini tidak relevan dengan materi pokok pengaturan Konservasi. Selain itu juga, karena saat ini sedang berproses RUU tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA).

Sebagai tindak lanjut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 telah memiliki peran dan kinerja yang cukup efektif dalam rangka KSDAHE di Indonesia.

RUU KSDAHE yang merupakan RUU inisiatif dari DPR didalamnya masih terdapat pasal-pasal yang belum sesuai dengan filosofi konservasi dan prinsip dasar ekologi.

Selain itu, RUU ini juga belum sejalan secara filosofis universal tentang konservasi, pun dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Salah satu isi RUU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem yang diajukan DPR bertentangan dengan pasal 33 ayat UUD 1945.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News