RUU Konservasi SDA Hayati Masih Perlu Pendalaman

RUU Konservasi SDA Hayati Masih Perlu Pendalaman
Rapat kerja Komisi IV DPR RI dan jajaran KLHK. Foto: Humas KLHK

Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh KLHK yang juga sebagai koordinator, memberikan beberap pandangan yang krusial.

Pertama, terkait dengan filosofi dasar konservasi, Menteri LHK, Siti Nurbaya menyebutkan bahwa pada Pasal 1 angka 1 RUU KSDAHE terjadi perubahan konsep pengelolaan konservasi menjadi Perlindungan, Pemanfaatan dan Pemulihan.

Menurutnya, hal tersebut berbeda dan mungkin bertentangan dengan konsep dasar universal yang diadopsi dari World Conservation Strategi atau Strategi Konservasi Dunia yang menjadi konsep dasar UU Nomor 5 tahun 1990 yaitu Perlindungan, Pengawetan, dan Pemanfaatan.

Kemudian, Menteri Siti juga menyebut pada Pasal 4 ayat (1) RUU ini yang membagi lingkup wilayah KSDAHE, menjadi konservasi yang dilakukan di wilayah darat, konservasi yang dilakukan di wilayah perairan dan konservasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam kaitan ini, pemerintah beranggapan bahwa sesungguhnya KSDAHE didasarkan atas ekosistem yang utuh, sebagai bentang alam yaitu lansekap dan ekosistem, satu dengan yang lain saling berkaitan atau Ecosystem Based Management.

Pemisahan konservasi antara wilayah daratan, perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, tidak selaras dengan keilmuan tentang prinsip-prinsip dasar ekologi.

Tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan konsep hak menguasai negara atas sumber daya alam, Pada BAB III RUU ini berbunyi Hubungan Negara, Masyarakat Hukum Adat, serta Orang Dengan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Judul Bab III memberikan pemaknaan bahwa Negara, Masyarakat Hukum Adat, dan Orang berkedudukan sebagai subyek hukum yang setara.

Salah satu isi RUU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem yang diajukan DPR bertentangan dengan pasal 33 ayat UUD 1945.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News