Safari Aladin

Oleh: Dahlan Iskan

Safari Aladin
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Ibarat alat kerja, Kris itu masih sebesar cangkul. Harus jadi traktor dulu. Kalau perlu jadi buldoser. Setelah itu barulah pulang ke Wamena.

Wamena perlu traktor besar. Bukan sekadar cangkul. Masalahnya, jangan-jangan, kalau sudah jadi traktor justru tidak mau pulang kampung.

"Kalau saya, pilih jadi traktor dulu, baru pulang. Tapi harus ditanamkan dendam yang dalam di dada Anda, bahwa kalau sudah jadi traktor harus pulang," kata saya.

Saya juga mengingatkan agar jangan takut dikatakan tidak nasionalis hanya gara-gara tidak mau pulang.

"Tetap di luar negeri pun bisa nasionalis. Indonesia perlu network yang kuat di dunia internasional," kata saya.

Sasa yang dari Bali mengemukakan persoalan antara hobi, keinginan, dan tuntutan keluarga. Sebenarnya Sasa ingin jadi penyelam profesional. Sampai mencapai tingkat master. Lalu bisa ikut menyelamatkan coral laut.

Namun, keluarganyi di Denpasar menginginkan Sasa cepat bisa bekerja. Mencari uang. Dua adiknyi juga harus dibiayai untuk kuliah. Sasa bingung berat. Harus bagaimana.

Awalnya, saya pikir, hobi Sasa di fashion. Terlihat dari profilnyi. Maka saya sarankan agar Sasa memberontak. Terjuni hobi itu habis-habisan. Sampai menjadi sumber penghasilan. Lihat hasilnya dalam dua tahun. Kalau gagal, banting stir.

SAYA senang acara makan malam dengan mahasiswa di Nanjing ini di resto Aladin. Masakan Xinjiang. Serba kambing. Dengan mie kenyalnya yang besar.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News