Salat Diskon

Oleh: Dahlan Iskan

Salat Diskon
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Pakaian ihroa menjadi tiket masuk. Orang pun bersiasat: menipu petugas. Mereka ke masjid pakai pakaian ihram. Bukan karena mau umrah.

Demikian juga saat mau tawaf terakhir sebelum meninggalkan Makkah (tawaf wadak); dulu tidak perlu pakai ihram. Sekarang harus pakai ihram agar bisa tawaf di seputar Kakbah.

Dan itu sebenarnya tidak perlu. Tanpa pakaian ihram tawaf tetap bisa dilakukan. Misalnya di lantai 2, atau 3, atau 4 atau di roof top. Satu putaran tawaf sejauh 1 km. Itu sering saya lakukan.

Kali ini saya harus ikut maunya istri: tawaf di dekat Kakbah. Maka kami pun bersiasat: pakai pakaian ihram. Berhasil tawaf dekat Kakbah. Dengan begitu istri merasa lebih tawaf daripada tawaf.

Saya sendiri tiap kali tawaf, kepikiran hajar aswad: batu hitam di pojok Kakbah itu. Bagaimana bisa orang berebut ibadah dengan cara menyakiti orang lain: menyikut, menarik, menginjak, menendang: rebutan mencium batu hitam itu.

Maka kalau ada ide menaikkan posisi batu itu lebih tinggi saya akan mendukung. Agar adil: semua bisa melihatnya sambil melakukan tawaf. Lalu bisa melambaikan tangan ke arahnya. Tanpa harus mencium lagi.

Seperti juga di lokasi lempar jumrah (melempar batu ke tugu simbolis setan): sudah berubah total, kan? Lebih baik, kan?

Tugu setannya sudah dibuat sedemikian tinggi dan lebar. Ribuan jemaah haji bisa melempar bersamaan tanpa membahayakan keselamatan. Tidak berdesakan. Tidak ada lagi yang mati terinjak.

Bajuri tidak tahu mengapa salat tarawih didiskon 50 persen. Di Saudi sulit mendapat penjelasan seperti itu. Kalau majelis ulama sudah memutuskan, jadilah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News