Semut di Seberang Lautan Tampak Jelas

Semut di Seberang Lautan Tampak Jelas
Semut di Seberang Lautan Tampak Jelas
Mereka ditembak, lalu mobilnya di bakar dan didorong ke jurang. Keduanya tewas. Kabar itu begitu cepat menerpa masyarakat Tembagapura yang jaraknya dua jam naik bus, atau 20 menit dengan Chopper – istilah populer helikopter di sana—. Masyarakat pun merasa terteror. Mereka seperti terancam, setelah mereka berdua, lalu siapa lagi? Dengan modus apa lagi? Rasa waswas itu nyaris menghantui mereka setiap kali hendak keluar dari Tembagapura. Situasi tidak aman itu. Ada banyak “teroris” yang tak pernah jelas kabar ujung akhirnya. Berbeda dengan penembakan, peledakkan bom, dan ancaman gangguan teroris di Jakarta dan kotakota lain di Jawa. Tidak terlalu lama, Polisi akan menangkap pelaku dan otak yang bersandiwara di belakangnya.

Polisi juga cepat merekonstruksi motif, mensketsa gambar sel-sel jaringan dan lukisan wajah mereka. Kota-kota di Jawa sudah seperti terekam dalam CCTV dan terkendali penuh, sehingga tidak ada satu bagian pun yg lepas kontrol. Tapi mengapa kasus penembakan di Timika dan Tembagapura, lokasi pertambangan Freeport kok tak pernah terang benderang? Sudah lebih dari 10 tahun, sejak tahun 1990, penembakan sering terjadi. Puluhan kali penembakan itu dibiarkan menjadi teka-teki sejarah yang tidak terungkap. Seolah “tersembunyi” di balik tumpukan emas dan tembaga di sana. Padahal, Timika dan Tembagapura itu kota kecil yang seluruh penduduknya, jika dikumpulkan paling hanya se stadion Gelora Bung Karno, Senayan.

Bayangkan, sejak 1990 sampai 2011 ini, sudah terjadi lebih dari 20 kali kasus penembakan. Tak satupun berhasil ditangkap! Apalagi diungkap. Motifnya apa? Solusinya bagaimana? Tidak seperti Noordin M Top dan kawan-kawannya yang cepat ditangani. Polisi seperti bekerja dengan sangat cepat. Trauma penduduk betul-betul menjadi korban. Berita soal dua pejabat security tewas dibakar mobil dibakar itu membuat semua jadi was was. Tak ada yang berani melintas Timika-Tembagapura, naik jalur darat. Setiap pergerakan, harus konvoi, dikawal petugas bersenjata. Seperti pasukan perang saja. Akibatnya, yang biasa ditempuh 2 jam, sekarang paling cepat 3 jam. Itupun berjalan dengan rasa tidak aman! Rasa takut, siapa tahu tiba-tiba ada serangan peluru nyasar! Wajar juga jika pejabat-pejabat di Freeport enggan, mengomentari peristiwa-peristiwa keamanan itu.

Mereka memilih diam, takut jangan-jangan malah dirinya yang menjadi sasaran. Bahkan, beberapa waktu silam, sekitar 6000 warga menggalang tanda tangan, membuat surat untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), atas suasana tersebut. Apakah hanya kami yang tidak boleh mendapatkan hak atas rasa aman? Begitulah jeritan hati mereka. ”Ya terus terang ini menjadi salah satu keprihatinan kami. Apa salah kami? Kami pembayar pajak yang tertib. Darah kami merah putih! Jiwa kami Pancasila.

Tiga hari, saya mewakili Forum Pemred Jawa Pos National Network (JPNN) –bersama beberapa pemred JP Group—, berkunjung ke kawasan eksplorasi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News