Semut di Seberang Lautan Tampak Jelas

Semut di Seberang Lautan Tampak Jelas
Semut di Seberang Lautan Tampak Jelas
Sulit kami harus menjelaskan suasana seperti ini kepada anakanak kami. Generasi muda yang makin kritis, kenapa bisa terjadi?” curhat mereka yang enggan dikutip namanya. Kenapa? ”Takut mas!” jawabnya, serius. Ya, suara hati seperti itu memang bisa saya rasakan tatkala berkunjung 3 hari bersama Pemred Jambi Ekspres, Wapimred Fajar Makasar, Pemred Radar Timika, Pemred Radar Sorong, dan saya Pemred Indopos Jakarta. Sulit sekali mereka berkata lugas. Saya bisa mengerti. Mereka, pekerja tambang yang hari-harinya menghadapi alam yg cukup ganas. Naik turun Grasberg di ketinggian 4.200 dpl saja sudah perjuangan berat. Oksigen menipis, kalau tidak terbiasa, saya jamin, berjalan biasa 100 meter saja Anda bisa sempoyongan, bahkan pingsan. Udara berangin di kisaran suhu 4-5 derajad Celcius.

Kulit terasa lebih tebal dan keriput. Kalau turun di dataran yg lebih rendah, seperti ada yg baru saja merusak pori-pori kulitnya, perih saat mandi terkena sabun, dan warna telinga pun memerah. Orang selalu melihat Freeport dengan 300.000 orang yang bersentuhan langsung secara ekonomis, itu dari bingkai politis. Soal kontrak karya yang sampai 2045. Soal sumbangan perusahaan terhadap negeri. Soal dugaan kerusakan lingkungan, karena perubahan bentuk permukaan bukit dan underground. Soal eksploitasi tambang tembaga terbesar di dunia. Soal jatah Indonesia yang dianggap terlampau kecil. Tidak banyak yg retreat sejenak, berempati seandainya berada di pihak mereka! Tinggal di Tembagapura, yang dikelilingi gunung dan hutan.

Yang suhunya 18-20 derajad Celcius. Yang ketinggiannya 1.800 sampai 2.000 meter dpl. Lokasi pertambangan Grasberg di 4.200 meter. Tidak ada hiburan. Tidak ada gedung bioskop, gedung seni teater, tidak ada music lounge, tidak ada playland anak-anak, tidak ada lahan datar yang luas! Semua naik turun dan sengaja tidak diaspal, agar tidak slip di kemiringan di atas 45 derajad. Wisata kuliner yg menghibur hanya Klub Lupa Lelah. Restoran, yg bisa menyediakan seafood, chinesse food, sekaligus western food seperti pasta, blackforest, tirramisu, dll. Juga shoping, orang sana menyebut. Minimarket yang diisi Hero, dengan harga-harga yang cukup menantang. Satu ikat kangkung, harga Rp 19.000,-. Satu wortel 5 ribu. Terus terang, saya pun rasanya tak sanggup hidup dalam isolasi di tengah hutan berbukit itu. Orang tidak melihat dulu, ketika belum ada apa-apa.

Masih belukar dan bebatuan. Belum ada infrastruktur menuju ke sana. Orang juga tidak mau melirik, ternyata masih banyak cadangan tambang yang berada di luar petak 10 kilometer kali 10 kilometer yang menjadi wilayah kontrak karya itu. Orang lebih asyik mempergunjingkan Freeport sebagai tambang terbesar di dunia yang bernilai ekonomis. Tidak mau menengok sedikit saja, apa saja yang sudah dilakukan Freeport sebagai corporate responsibility. (don/bersambung)


Tiga hari, saya mewakili Forum Pemred Jawa Pos National Network (JPNN) –bersama beberapa pemred JP Group—, berkunjung ke kawasan eksplorasi


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News