Sesajen

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Sesajen
Ilustrasi sesajen. Ilustrator: Sultan Amanda/JPNN.com

Ulama sufi Husain bin Mansyur atau terkenal sebagai Al-Hallaj dihukum mati karena dianggap merusak tauhid. Setelah kematian Al-Hallaj, para pengikut sufi malah makin militan.

Kematian Al-Hallaj justru dianggap sebagai jihad dan syahid, dan pertentangan antara syariat dengan tasawuf makin meruncing.

Lalu muncullah Imam Al Ghazali, ahli syariat dan teolog, yang kemudian menyusun landasan yang menyediakan ruang kompromi bagi syariat dan mistisisme. Melalui kitab Ihya' Ulumuddin, Al-Ghazali menegaskan Islam dan tasawuf bisa saling mendukung dan menguatkan, bukannya saling menjatuhkan.

Sejak Islam masuk ke Jawa sufisme Jawa berkembang pesat. Islam masuk lewat wilayah-wilayah pesisir Utara Jawa seperti Gresik, Tuban, dan Jepara. Dari ketiga tempat tersebut, Islam menyebar secara cepat ke seluruh Jawa.

Islam dapat diterima dengan mudah, karena para wali maupun sufi menerapkan ajaran sufisme yang akrab dengan tradisi masyarakat setempat. Para wali dan sufi juga menggunakan pendekatan kompromistis dan akomodatif dalam kegiatan dakwah.

Mereka tidak terlalu mempersoalkan kemurnian Islam dan menggunakan simbol tradisi seperti wayang, gamelan, dan tetembangan sebagai alat dakwah. Islam diterima tanpa ketegangan.

Para wali menyusupkan unsur-unsur Islam ke dalam budaya dan tradisi lokal. Kemampuan resepsi masyarakat Jawa terhadap budaya luar sangat lentur, dan budaya Jawa pun terbuka untuk menerima budaya luar dan melakukan adaptasi secara elastis.

Salah satu bentuk sufisme Jawa ialah aliran kebatinan atau kejawen yang merupakan hasil sinkretisme campuran kebudayaan Jawa Budha, Islam, dan Kristen.

Kasus lelaki menendang sesajen di Gunung Semeru memicu perdebatan lama mengenai syariat Islam dan tradisi Jawa.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News