Siasat Penguasa di Balik Revisi UU Pemilu

Oleh Pangi Syarwi Chaniago

Siasat Penguasa di Balik Revisi UU Pemilu
Pangi Syarwi Chaniago. Foto: Dokpri for JPNN.com

Jika pemerintah tetap bersikeras untuk menolak melakukan revisi undang-undang pemilu terutama yang berkaitan dengan keserentakan ini, publik layak curiga kepentingan apa sebenarnya yang sedang mereka perjuangkan?

Faktanya pada tahun 2022, terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, dan 171 pejabat akan mengakhiri masa baktinya pada tahun 2023. Para kepala daerah yang habis masa jabatannya ini adalah hasil pilkada 2017 dan 2018. Itu artinya ada 272 plt yang akan menduduki posisi kepala daerah.

Apakah presiden merasa belum cukup kuat dengan kekuasaan/legitimasi yang dimiliki saat ini, sehingga berambisi mengendalikan kepala daerah/tegak lurus dengan presiden melalui plt yang ditunjuk Kemendagri, sementara kita tahu Kemendagri adalah pembantu presiden yang ditunjuk presiden?

Atau karena anak dan mantu presiden sudah selesai mengikuti perhelatan pesta pilkada, dan memenangkan pilkada Solo dan Medan sehingga presiden tidak mendukung all out perhelatan pilkada serentak di tahun 2022-2023.

Belum lagi, penumpukan penyelenggraan pilpres, pileg dan pilkada serentak di 2024 tidak main-main, mitigasi pemilu dari level hulu sampai hilir sangat komplikasi permasalahannya,  sangat berisiko terjadi kegaduhan yang berskala besar di masyarakat.

Selain itu, pilkada serentak yang menumpuk jelas membutuhkan energi dan menguras tenaga KPU dalam menyelenggarakannya, Bawaslu, MK nantinya juga bakal kewalahan karena banyaknya perkara sengketa pilkada. Belum lagi punya potensi berulang kembali tragedi petugas KPPS yang meninggal karena proses penghitungan suara yang berhari-hari dan memakan waktu yang cukup lama.

Yang lebih berbahaya dari semua ini adalah upaya sistematik secara perlahan-lahan untuk mematikan demokrasi lokal dengan menghambat bermunculannya elite politik lokal dan menghalangi rakyat melaksanakan hak konstitusionalnya. Karena sejatinya demokrasi itu adalah jalan bagi publik terjadinya sirkulasi dan regenerasi elite secara teratur untuk menduduki jabatan politik secara konstitusional.

Jika jalan ini dihambat maka demokrasi akan mati secara perlahan dan pemerintah akan menggeser bandul demokrasi dan otonomi daerah ke arah pemerintahan yang sentralistik dengan mengendalikan kepala daerah melalui plt. Otonomi daerah suram dan mundur di era pemerintahan sekarang, jika situasi ini berlanjut dan terus dibiarkan bukan tidak mustahil kita akan kembali menelan pil pahit berada di bawah cengkeraman pemerintahan yang otoriter. Ini yang saya khawatirkan. Semoga tidak!!!

Pilkada serentak yang menumpuk jelas membutuhkan energi dan menguras tenaga KPU dalam menyelenggarakannya, Bawaslu, MK nantinya juga bakal kewalahan karena banyaknya perkara sengketa pilkada.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News