Silang Sengkarut UU Cipta Kerja dan Otonomi Khusus Papua

Oleh: Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum, Senator Papua Barat

Silang Sengkarut UU Cipta Kerja dan Otonomi Khusus Papua
Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum. Foto: Humas DPD RI

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, dijelaskan bahwa Pemda masih diberikan kewenangan dalam perencanaan tata ruang wilayah provinsi, pemanfaatan ruang wilayah provinsi, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.

Pemda juga diberi kewenangan untuk penetapan kawasan strategis provinsi, perencanaan tata ruang kawasan strategis, pemanfaatan ruang kawasan strategis, serta pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis. Namun kewenangan itu tidak dicantumkan dalam UU Cipta Kerja.

Pemangkasan ini menjadikan Pemda hanya sekadar sebagai penonton, dan dengan demikian menegasikan posisi Otsus yang seharusnya afirmasi diberikan kepada Pemda untuk mengelola daerahnya.

Selain itu, UU Cipta Kerja menegaskan bahwa sejumlah kewenangan Pemerintah Pusat meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan penetapan ruang wilayah nasional, dan wewenang Pemerintah Daerah, dibatasi sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, yaitu berupa pengaturan, pelaksanaan, dan kerjasama antarprovinsi.

Pasal tersebut kemudian menyamaratakan semua jenis norma, standar, prosedur, dan kriteria, selama berkaitan dengan kebijakan nasional. Penyamarataan semua jenis norma, standar, prosedur, dan kriteria, selama berkaitan dengan kebijakan nasional tersebut akan menghilangkan makna “kekhususan” Papua/Papua Barat. Lalu apa gunanya UU Otsus yang baru dibuat?

Sebagaimana diketahui, Pasal 38 ayat (2) UU Otsus yang baru menyebutkan bahwa usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Frasa tersebut bermakna bahwa semua komitmen Pemerintah yang berkaitan dengan hal tersebut, harus diselesaikan secara bermartabat demi masyarakat adat itu sendiri.

Hal itu juga ditegaskan dalam Pasal 42 UU Otsus, yang isinya adalah: (1) Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. (2) Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. (3) Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat. (4) Pemberian kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya.

Hal di atas diperparah dengan isi Pasal 22 UU Cipta Kerja yang membatasi peran Pemda dalam hal pemberian izin lingkungan untuk pengusaha (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan / AMDAL).

UU Cipta Kerja tidak mengubah konsekuensi bagi pelaku usaha dalam hal pengusahaan itu tidak dilakukan, yaitu pengambilalihan bagian lahan perkebunan yang belum diusahakan. Lantas bagaimana dengan otonomi khusus Papua?

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News