Silang Sengkarut UU Cipta Kerja dan Otonomi Khusus Papua

Oleh: Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum, Senator Papua Barat

Silang Sengkarut UU Cipta Kerja dan Otonomi Khusus Papua
Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum. Foto: Humas DPD RI

Di sisi lain, lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja seharusnya tidak serta merta menghilangkan kekhususan sebagian wilayah seperti Papua, dan daerah otonomi khusus lainnya. Kita memahami bahwa iklim ekosistem investasi di Indonesia diarahkan pada perbaikan tenaga kerja, penyederhanaan regulasi, pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, dan percepatan proyek strategis nasional. Namun, kekhawatiran terhadap deforestasi, kehancuran SDA, pembatasan pengelolaan SDA oleh Pemda, menjadi PR yang tidak boleh disederhanakan.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK, 2020), memberikan beberapa kritik atas UU Cipta Kerja terkait SDA. Beberapa kritik yang diutarakan di antaranya:

(1) dinilai tidak ramah lingkungan dan mengancam masyarakat marjinal, yang dapat dilihat dari adanya berbagai kelonggaran persyaratan lingkungan hidup bagi pelaku usaha. (2) Dari segi pengelolaan limbah, UU Cipta Kerja membolehkan orang perorangan atau badan usaha membuang limbah pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di sungai, laut, dan memasukkan ke tanah dengan izin dari pemerintah.

(3) UU Cipta Kerja mengubah Pasal 16 UU Perkebunan yang mem­berikan batasan maksimal 3 tahun dan 6 tahun sejak mendapatkan status hak atas tanah bagi pelaku usaha untuk mengusahakan lahan perkebunannya. batasan waktu itu lalu dipersing­kat menjadi 2 tahun sejak mendapatkan status hak atas tanah. UU Cipta Kerja tidak mengubah konsekuensi bagi pelaku usaha dalam hal pengusahaan itu tidak dilakukan, yaitu pengambilalihan bagian lahan perkebunan yang belum diusahakan. Namun, sanksi administratif atas pelanggaran itu, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 18 UU Perkebunan, kini ditiadakan oleh UU Cipta Kerja.

(4) Perubahan pengaturan dalam UU Cipta Kerja berpotensi menyebabkan terjadinya eksploitasi SDA secara berlebihan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup dan mengancam masyarakat.

Seolah tak peduli dengan kritik masyarakat, Pemerintah mengeluarkan kurang lebih 49 PP yang mendukung pelaksanaan investasi dan/atau pengelolaan SDA tersebut.

Bagaimana dengan nasib Papua/Papua Barat sebagai daerah dengan Otonomi Khusus (Otsus), yang kini telah mulai menjalankan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otsus bagi Provinsi Papua?

Kehadiran Pasal 17 UU Cipta Kerja yang memangkas kewenangan Pemda dalam hal tata ruang, akan cukup berpengaruh terhadap penetapan Kawasan Ekonomi Khusus, misalnya di Sorong. Wewenang Pemda dalam penyelenggaran penataan ruang hanya meliputi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota.

UU Cipta Kerja tidak mengubah konsekuensi bagi pelaku usaha dalam hal pengusahaan itu tidak dilakukan, yaitu pengambilalihan bagian lahan perkebunan yang belum diusahakan. Lantas bagaimana dengan otonomi khusus Papua?

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News