Soal Hukuman Mati Dalam KUHP, Wayan Sudirta: Penerapannya Selektif

Soal Hukuman Mati Dalam KUHP, Wayan Sudirta: Penerapannya Selektif
Anggota Komisi III DPR RI Wayan Sudirta. Foto: Dokumentasi pribadi

Hampir semua negara mempertahankan pidana mati memiliki persyaratan-persyaratan yuridis, yang mengatur hak-hak dari terpidana untuk minta peninjauan kembali, meminta pengampunan, perubahan pidana dan penangguhan pidana mati.

Hal ini kemudian memperoleh penguatan yakni dengan keluarnya Resolusi Sidang Umum PBB No. 35/172.

Oleh karena itu, pidana mati menjadi pilihan yang paling dihindari dengan melihat faktor pelaku seperti kesengajaan dan kesadaran.

Dengan begitu diharapkan bahwa penyalahgunaan kewenangan oleh penegak hukum juga terhindarkan dalam hal kewenangan hakim untuk selalu menghindari Hukuman mati dalam penjatuhan putusan pidana.

Dalam KUHP saat ini, Pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu (paling lama 20 (dua puluh) tahun) dan pidana penjara seumur hidup, sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 67.

Hal ini tercermin dalam pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHP. Lebih lanjut, Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun apabila memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1).

Mekanisme pemberian masa percobaan diatur dalam Pasal 100 dan 101 yang selanjutnya akan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang tersendiri.

"Namun yang penting untuk dicatat di sini adalah juga pertimbangan hakim, yang mana harus memuat pidana mati dengan masa percobaan dalam putusan hakim,” ujar Sudirta.

Hukuman mati yang masih tercantum dalam KUHP baru yang disahkan baru-baru ini merupakan sikap DPR yang mencerminkan jalan tengah dari pendapat pro dan kontra.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News