Soal Hukuman Mati, Jaksa Agung Diingatkan Tak Sembarangan Memaknai UU Tipikor

Soal Hukuman Mati, Jaksa Agung Diingatkan Tak Sembarangan Memaknai UU Tipikor
Jaksa Agung ST Burhanuddin. Foto: ANTARA/Istimewa

Maka anak kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai berdiri sendiri dan tidak terkait dengan anak kalimat sebelum dan sesudahnya.

“Oleh karena itu, kalimat tersebut dapat berarti seseorang yang sudah pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi kemudian setelah keluar dia melakukan tindak pidana korupsi lagi. Sehingga orang tersebut layak untuk dituntut hukuman mati karena dianggap tidak jera atas hukuman yang pernah dijatuhkan padanya”, tekannya.

Terkait dengan wacana hukuman mati bagi para terdakwa Jiwasraya dan Asabri, maka perlu juga dicermati sekali lagi apakah diantara mereka ada yang recidivis atau orang yang pernah dihukum dan melakukan tindak pidana yang sama.

Lalu bagaimana dengan tempus delicti-nya, apakah negara dalam kondisi bencana alam atau dalam keadaan krisis moneter.

Ingat, tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana bukan waktu persidangannya, ungkapnya mengakhiri wawancara.

Sebelumnya diketahui, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin kembali menggaungkan wacana hukuman mati bagi terpidana korupsi. Pihaknya, akan membuka ruang diskursus dalam mengkaji secara ilmiah dan lebih dalam untuk dapat diterapkannya sanksi pidana terberat bagi para koruptor.

Dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, selain upaya preventif juga diperlukan upaya represif yang tegas sebagai efek jera. Menurutnya, Kejaksaan telah melakukan berbagai macam upaya untuk menciptakan efek jera.

Upaya prefentif yang dilakukan dalam penuntutan di antaranya, penjatuhan tuntutan yang berat sesuai dengan tingkat kejahatan, merubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset.

Wacana Hukuman mati bagi koruptor yang diusungoleh Jaksa Agung ST Burhanudin memunculkan kontroversi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News